Kamis, 24 Desember 2009 -

HUKUM MEMPERINGATI TAHUN BARU ISLAM DAN FATWA-FATWA SEPUTAR BULAN MUHARRAM DAN PUASA ‘ASYURA

بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين.

Memasuki bulan Muharram tahun 1431 Hijriyyah ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, sebagian kaum muslimin menyambut kedatangannya dengan berbagai acara dan ritual tertentu. Mereka memperingati tahun baru Islam ini dengan keyakinan bahwa hal ini termasuk amalan yang disyari’atkan dalam agama ini.

Benarkah anggapan dan keyakinan yang demikian? Saudara-saudara kami kaum muslimin rahimakumullah, pada sajian kali ini, kami akan menampilkan fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah terkait permasalahan tersebut. Dengan keluasan ilmunya, beliau akan menjawab bagaimana sebenarnya hukum memperingati tahun baru Hijriyah, apakah hal itu disyari’atkan dalam agama ini, ataukah sebaliknya, justru bertentangan dengan tuntunan Islam. Dan tidak ketinggalan pula kami juga menampilkan fatwa-fatwa penting yang lainnya seputar bulan Muharram dan puasa ‘Asyura.

Sebenarnya fatwa-fatwa tersebut pernah kami tampilkan setahun yang lalu dalam situs yang sama, namun mengingat betapa pentingnya masalah ini untuk diketahui dan dipahami dengan benar oleh kaum muslimin, maka kami akan menampilkan ulang, mudah-mudahan bermanfaat.

Pertanyaan : Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.

Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :

تخصيص الأيام، أو الشهور، أو السنوات بعيد مرجعه إلى الشرع وليس إلى العادة، ولهذا لما قدم النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال: «ما هذان اليومان»؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم: «إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما: يوم الأضحى، ويوم الفطر». ولو أن الأعياد في الإسلام كانت تابعة للعادات لأحدث الناس لكل حدث عيداً ولم يكن للأعياد الشرعية كبير فائدة.

ثم إنه يخشى أن هؤلاء اتخذوا رأس السنة أو أولها عيداً متابعة للنصارى ومضاهاة لهم حيث يتخذون عيداً عند رأس السنة الميلادية فيكون في اتخاذ شهر المحرم عيداً محذور آخر.

كتبه محمد بن صالح العثيمين

24/1/1418 هـ

Jawab : Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah. Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“

Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.

Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.

Ditulis oleh :

Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn

24 - 1 - 1418 H

[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]

Para pembaca sekalian,

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh, karena :

- Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.

- Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.

Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan memperingati Tahun Baru Islam. Sangat disesalkan, ada sebagian kaum muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun Baru Islam.

Wallâhu a’lam bish shawâb

وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وسلم

sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=408#more-408
-

Fatwa-fatwa Penting Seputar ‘Asyura`

Hukum Bersandar Pada Kalender dalam Penentuan Shiyâm (Puasa) Hari ‘Asyûra (10 Muharram).

Pertanyaan : Saya seorang pemuda yang telah diberi hidayah oleh Allah dengan cahaya Al-Haq. Saya ingin melaksanakan Shiyâm ‘âsyûrâ` dan semua shiyâm pada hari-hari yang utama di luar Ramadhân. Apakah boleh terkait dengan shiyâm ‘âsyûra` saya bersandar pada kalender dalam penentuan masuknya bulan Muharram, ataukah berhati-hati dengan cara bershaum sehari sebelum dan sesudah itu lebih utama? Jazâkumullâh Khairan.

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menjawab :

Tetap wajib atasmu untuk bersandar kepada ru’yatul hilâl. Namun ketika tidak ada ketetapan ru`yah maka engkau menempuh cara ihtiyâth, yaitu dengan menyempurnakan bulan Dzulhijjah menjadi 30 hari. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua.

[diterbitkan di majalah Ad-Da’wah edisi 1687 tanggal 29 / 12 / 1419 H. lihat Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah XV/402, fatwa no. 157 ]

* * *

Hukum Memperhatikan Hilâl Tanda Masuknya Bulan Muharram

Pertanyaan : Banyak dari kaum muslimin yang bershaum (berpuasa) pada hari ‘âsyûrâ` dan benar-benar mementingkannya karena mereka mendengar dari para da’i tentang dalil-dalil yang memberikan motivasi dan dorongan untuk mengamalkannya. Maka kenapa umat tidak diarahkan untuk benar-benar memperhatikan hilâl Muharram, sehingga kaum muslimin mengetahui (masuknya bulan Muharram) setelah disiarkan atau disebarkan melalui berbagai media massa?

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menjawab :

Shiyâm para hari ‘Âsyûrâ` merupakan ibadah sunnah yang disukai bershaum padanya. Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bershaum pada hari tersebut demikian juga para shahabat juga bershaum pada hari tersebut, dan sebelumnya Nabi Musa ‘alaihissalam juga bershaum pada hari tersebut sebagai bentuk syukur kepada Allah, karena hari tersebut (10 Muharram) merupakan hari yang Allah menyelamatkan Nabi Musa u dan kaumnya, serta Allah binasakan Fir’aun dan kaumnya. Maka Nabi Musa ‘alaihissalam dan Bani Israil bershaum pada hari tersebut sebagai bentuk syukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kemudian Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bershaum juga pada hari itu dalam rangka bersyukur kepada Allah dan mencontoh Nabiyullâh Musa. Dulu kaum jahiliyyah juga biasa bershaum pada hari itu.

Kemudian Nabi shalallahu’alaihi wa sallam menekankan shaum tersebut kepada umat ini. Kemudian ketika Allah menurunkan kewajiban shaum Ramadhan, maka beliau bersabda : “Barangsiapa yang mau silakan bershaum pada hari itu, barangsiapa yang mau boleh meninggalkannya.” [HR. Al-Bukhâri 5402, Muslim 1125]

Nabi shalallahu’alaihi wa sallam memberitakan bahwa shaum tersebut menghapuskan dosa-dosa setahun sebelumnya. Yang utama adalah dengan diiringi bershaum sehari sebelum atau sesudahnya, dalam rangka menyelisihi kaum Yahudi, karena Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” [HR. Ahmad] dalam riwayat lain dengan lafazh : “Bershaumlah kalian sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.”

Jadi kalau diiringi dengan bershaum sehari sebelumnya atau sehari setelahnya, atau bershaum pada hari sebelumnya dan sehari setelahnya, yakini bershaum tiga hari sekaligus (9, 10, 11 Muharram) maka itu semua adalah bagus, dan padanya terdapat penyelisihan terhadap musuh-musuh Allah.

Adapun berupaya mencari kepastian malam ‘âsyûrâ`, maka itu merupakan perkara yang tidak harus. Karena shaum tersebut adalah nâfilah bukan kewajiban. Maka tidak harus mengajak untuk memperhatikan hilâl (Muharram). Karena seorang mukmin kalau dia keliru, sehingga ternyata dia bershaum sehari sebelumnya atau sehari setelahnya maka itu tidak memadharatkannya. Dia tetap mendapat pahala yang besar. Oleh karena itu tidak wajib untuk memperhatikan masuknya bulan (Muharram) dalam rangka itu (shaum), karena shaum tersebut hanya nâfilah saja.

[Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah XV/401 - 402, fatwa no. 156 ]

* * *

Apakah Harus mengqadha` Shaum ‘Asyura yang Terlewatkan

Pertanyaan : “Barangsiapa yang tiba hari ‘Asyura dalam keadaan haidh, apakah dia harus mengqadha’nya? Apakah ada qaidah yang menjelaskan mana dari puasa nafilah yang harus diqadha` dan mana yang tidak? Jazakallah Khairan.

Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab :

Ibadah Nafilah ada dua jenis : Jenis yang ada sebabnya, dan jenis yang tidak ada sebabnya. Nafilah yang ada sebabnya, maka dia tidak ada jika sebabnya tidak ada, dan tidak perlu diqadha`. Contohnya shalat tahiyyatul masjid. Jika seseorang datang ke masjid langsung duduk dan duduknya tersebut sudah berlangsung lama, kemudian ia hendak melakukan shalat tahiyyatul masjid. Maka shalat yang ia lakukan bukanlah shalat tahiyyatul masjid. Karena shalat tersebut memiliki sebab, terkait dengan sebab. Jika sebabnya hilang, maka hilang pula pensyari’atannya.

Termasuk dalam jenis ini pula -yang tampak- adalah shaum hari ‘Arafah dan shaum hari ‘Asyura. Apabila seseorang tertinggal dari shaum ‘Arafah dan shaum ‘Asyura` tanpa ada udzur, maka tidak diragukan lagi ia tidak perlu mengqadha`, dan tidak ada manfaatnya kalau pun dia mengqadha`. Adapun jika terlewat pada seseorang (puasa tersebut) dalam kondisi dia ada ‘udzur, seperti perempuan haidh, nifas, atau orang sakit, maka dia juga tidak perlu mengqadha`. Karena itu khusus pada hari tertentu, hukumnya hilang dengan berlalunya hari tersebut.

[Liqa’atil Babil Maftuh]

* * *

Hukum Melakukan Shaum Nafilah Bagi Orang yang Masih Punya Hutang Shaum Ramadhan

Pertanyaan : Apa hukum melaksanakan shaum sunnah, -seperti shaum 6 hari bulan Syawwal, shaum 10 pertama bulan Dzulhijjah, dan shaum ‘Asyura-, bagi seorang yang memiliki hutang Ramadhan yang belum ia bayar?

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menjawab :

Yang wajib bagi seorang yang memiliki hutang qadha` Ramadhan untuk mendahulukan qadha` sebelum ia melakukan shaum Nafilah. Karena ibadah wajib lebih penting daripada ibadah nafilah, menurut pendapat yang paling benar di antara berbagai pendapat para ‘ulama.

[Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah XV/394-395, fatwa no. 152 ]

* * *

Hukum Bergembira atau Bersedih Pada Hari ‘Asyura

Apakah boleh menampakkan kegembiraan, atau sebaliknya menampakkan kesedihan pada hari ‘Asyura?

Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab :

“Adapun hari ‘Asyura`, sesungguhnya Nabi shalallahu’alaihi wa sallam ditanya tentang shaum pada hari itu, maka beliau menjawab : “Menghapuskan dosa setahun yang telah lewat.” Yakni tahun sebelumnya. Tidak ada pada hari tersebut sedikitpun syi’ar-syi’ar hari perayaan (’Id). Sebagaimana pada hari tersebut tidak ada sedikitpun syi’ar-syi’ar hari perayaan (’Id), maka juga tidak ada pada hari tersebut sedikitpun syi’ar-syi’ar kesedihan. Maka menampakkan kesedihan atau kegembiraan, keduanya sama-sama menyelisihi sunnah. Tidak ada riwayat dari Nabi shalallahu’alaihi wa sallam tentang hari ‘Asyura tersebut kecuali melakukan shaum, di samping juga beliau shalallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk bershaum juga sehari sebelumnya, atau sehari setelahnya agar kita berbeda dengan Yahudi yang mereka biasa bershaum pada hari itu saja.”

[Majmu’ Fatawa Ibni ‘Utsaimin II/231]
sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=295
-

SHAUM ‘ÂSYÛRÂ`

Hukum, Keutamaan, Sejarah, dan Cara Pelaksanaannya

Shaum ‘âsyûrâ` adalah shaum (puasa) hari âsyûrâ`, yaitu hari ke-10 bulan Muharram. Shaum pada hari ini memiliki keutamaan yang sangat besar. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam pernah ditanya tentang shaum pada hari Asyura`, maka beliau menjawab :

يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ

“(Shaum tersebut) menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lewat.” [HR. Muslim 1162)

Shaum ini merupakan shaum sunnah. Dulu Nabi shalallahu’alaihi wa sallam biasa melakukannya. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Ummul Mu`minin Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu’anha :

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ r يَصُومُهُ.

“Dulu kaum Quraisy biasa bershaum hari ‘Asyura pada masa jahiliyyah. Dan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam juga terbiasa bershaum pada hari tersebut (yakni sebelum beliau berhijrah ke Madinah).” [HR. Al-Bukhâri 2002, Muslim 1125]

Ketika Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam telah berhijrah dan tiba di Madinah, beliau mendapati Yahudi Madinah ternyata juga bershaum pada hari tersebut. Maka beliau bertanya kepada mereka. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma :

أَنَّ رَسُولَ اللهِ r قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ r « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ r : « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللهِ r وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.

Bahwa Nabi shalallahu’alaihi wa sallam ketika tiba di Madinah, beliau mendapat Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka beliau bertanya (kepada mereka) : “Hari apakah ini yang kalian bershaum padanya?” Maka mereka menjawab : “Ini merupakan hari yang agung, yaitu pada hari tersebut Allah menyelamatkan Musa beserta kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun bersama kaumnya. Maka Musa bershaum pada hari tersebut dalam rangka bersyukur (kepada Allah). Maka kami pun bershaum pada hari tersebut” Maka Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Maka Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bershaum pada hari tersebut dan memerintahkan (para shahabat) untuk bershaum pada hari tersebut. [HR. Al-Bukhari 2004, 3397, 3943, 4680, 4737. Muslim 1130]

Maka awal setiba beliau di Madinah, beliau memerintahkan para shahabatnya untuk melaksanakan shaum pada hari ‘Asyura. Bahkan menjadi shaum wajib bagi kaum muslimin. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu’anha :

كَانَ رَسُولُ اللهِ r أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ ، وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ

“Dulu Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam memerintahkan (para shahabat) untuk bershaum pada hari ‘Asyura. Namun ketika diwajibkan shaum Ramadhan, maka jadilah bagi siapa yang mau boleh bershaum (’Asyura`) dan barangsiapa yang mau boleh juga tidak bershaum.” [Al-Bukhari 2001, Muslim 1125]

Kewajiban tersebut diperkuat dengan adanya seruan umum atas perintah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam , sebagaimana dikisahkan oleh Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu’anhu :

أَمَرَ النَّبِىُّ r رَجُلاً مِنْ أَسْلَمَ أَنْ أَذِّنْ فِى النَّاسِ « أَنَّ مَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ أَكَلَ فَلْيَصُمْ ، فَإِنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ »

Nabi shalallahu’alaihi wa sallam memerintahkan seseorang dari Aslam untuk mengumumkan kepada manusia : “Bahwa barangsiapa yang telah terlanjur makan, maka hendaknya ia bershaum pada sisa hari tersebut. Barangsiapa yang masih belum makan, hendaknya ia bershaum. Karena sesungguhnya hari ini adalah hari ‘Asyura` “. [HR. Al-Bukhari 2007, Muslim 1135]

Demikianlah, pada awal mula hijriah shaum ‘Asyura` merupakan kewajiban atas kaum muslimin.

Namun kemudian kewajiban tersebut dihapus dengan turunnya perintah shaum Ramadhan. Hal ini berdasarkan penegasan shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma :

صَامَ النَّبِىُّ r عَاشُورَاءَ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ . فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تُرِكَ

“Nabi shalallahu’alaihi wa sallam melaksanakan shaum ‘Asyura, dan memerintahkan (para shahabat) untuk bershaum juga pada hari tersebut. Namun ketika shaum Ramadhan diwajibkan, maka (shaum ‘Asyura) ditinggalkan.” [HR. Al-Bukhari no. 1892]

Juga sebagaimana penuturan ‘Aisyah radhiyallahu’anha :

فَلَمَّا نَزَلَ رَمَضَانُ كَانَ رَمَضَانُ الْفَرِيضَةَ، وَتُرِكَ عَاشُورَاءُ ، فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ لَمْ يَصُمْهُ

“Ketika turun perintah shaum Ramadhan, maka shaum Ramadhan menjadi kewajiban, dan ditinggalkanlah (kewajiban) shaum ‘Asyura`. Jadinya barangsiapa yang mau boleh bershaum pada hari tersebut dan barangsiapa yang mau boleh tidak bershaum pada hari tersebut” [HR. Al-Bukhari 4504]

Maka dihapuslah kewajiban shaum ‘Asyura`, dan hukumnya berubah menjadi mustahab (tidak wajib).

Namun dalam pelaksanaanya, Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam tidak suka kalau hanya dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram saja. Beliau menginginkan untuk berbeda dan menyelisihi kaum Yahudi yang juga punya kebiasaan bershaum ‘Asyura`. Maka beliau menginginkan untuk melaksanakannya pada tanggal 9 dan 10 Muharram.

Hal ini sebagaimana dituturkan oleh shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma :

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ r يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ r « فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ - إِنْ شَاءَ اللهُ - صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ».

قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللهِ r.

Ketika Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bershaum pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk bershaum pada hari itu, para shahabat shahabat berkata : “Itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara.” Maka Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Bila tiba tahun depan Insya Allah kita (juga) akan bershaum pada hari ke-9 (bulan Muharram).”

Ibnu ‘Abbas berkata : Namun belum sampai tahun depan kecuali Nabi shalallahu’alaihi wa sallam telah wafat terlebih dahulu. [HR. Muslim no. 1134]

Oleh karena itu shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma menegaskan :

صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ.

“Bershaumlah pada hari ke-9 dan ke-10, selisihilah kaum Yahudi!” [HR. ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf­- nya 7839, Al-Baihaqi IV/287. Diriwayatkan juga oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya di bawah hadits no. 755]

Dalam riwayat lain, disebutkan agar bershaum pada tanggal 9 dan 10, atau 10 dan 11, atau 9, 10, 11.

« صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً »

“Bershaumlah kalian pada hari ‘Asyura, dan selisihilah kaum Yahudi. Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” [HR. Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah 2095]

Berarti shaum dilaksanakan tanggal 9 dan 10 Muharram, atau 10 dan 11 Muharram

Dalam riwayat lain dengan lafazh :

« صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا وَبَعْدَهُ يَوْمًا »

“Bershaumlah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.” [HR. Al-Baihaq IV/287]

Berarti shaum dilaksanakan tanggal 9, 10, dan 11 Muharram.

Namun tentang kedudukan hadits tersebut, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa sanadnya dha’if (lemah). Karena adanya perawi yang lemah, yaitu Ibnu Abi Laila. Dia adalah perawi yang jelek hafalannya. Ibnu Abi Laila yang jelek hafalannya ini meriwayatkan hadits tersebut secara marfu’ (sampai kepada Nabi), yang riwayatnya tersebut berbeda dengan riwayat perawi lain yang lebih kuat hafalannya, yaitu ‘Atha` dan lainnya, yang mereka meriwayatkan hadits tersebut secara mauquf (hanya ucapan) shahabat Ibnu ‘Abbas. Riwayat yang mauquf ini shahih sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dan Al-Baihaqi. Demikian penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ta’liq Shahih Ibni Khuzaimah no. 2095.

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata :

“Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mensyari’atkan kepada kita untuk bershaum sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.

- bershaum pada hari ke-9 dan ke-10 ini yang paling utama.

- kalau bershaum pada hari ke-10 dan 11 maka itu sudah mencukupi, karena (dengan cara itu sudah) menyelisihi Yahudi.

- kalau bershaum semuanya bersama hari ke-10 (yaitu 9, 10, dan 11) maka tidak mengapa. Berdasarkan sebagian riwayat : “Bershaumlah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.”

- Adapun bershaum pada hari ke-10 saja maka makruh.”

[Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XV/403, fatwa no. 158]

Jadi, yang paling utama adalah shaum hari ke-9 dan ke-10.

Namun, para ‘ulama lainnya ada yang berpendapat bahwa yang paling utama adalah bershaum tiga hari, yaitu 9, 10, dan 11 Muharram. Ini merupakan pendapat Ibnul Qayyim (dalam Zadul Ma’ad II/76) dan Al-Hafizh (dalam Fathul Bari).

Pendapat ini dikuatkan pula oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata :

“Shaum ‘Asyura` memiliki empat tingkatan :

Tingkat Pertama : bershaum pada tanggal 9, 10, dan 11. Ini merupakan tingkatan tertinggi. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad : Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Selisihilah kaum Yahudi.” Dan karena seorang jika ia bershaum (pada) 3 hari (tersebut), maka ia sekaligus memperoleh keutamaan shaum 3 hari setiap bulan.

Tingkat Kedua : bershaum pada tanggal 9 dan 10. Berdasarkan sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam : “Kalau saya hidup sampai tahun depan, niscaya aku bershaum pada hari ke-9.” Ini beliau ucapkan ketika disampaikan kepada beliau bahwa kaum Yahudi juga bershaum pada hari ke-10, dan beliau suka untuk berbeda dengan kaum Yahudi, bahkan dengan semua orang kafir.

Tingkat Ketiga : bershaum pada tanggal 10 dan 11.

Tingkat Keempat : bershaum pada tanggal 10 saja. Di antara ‘ulama ada yang berpendapat hukumnya mubah, namun ada juga yang berpendapat hukumnya makruh.

Yang berpendapat hukumnya mubah berdalil dengan keumuman sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shaum ‘Asyura`, maka beliau menjawab “Saya berharap kepada Allah bahwa shaum tersebut menghapuskan dosa setahun sebelumnya.” Beliau tidak menyebutkan hari ke-9.

Sementara yang berpendapat hukumnya makruh berdalil dengan sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam : “Selisihilah kaum Yahudi. Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” Dalam lafazh lain, “Bershaumlah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.” Sabda beliau ini berkonsekuensi wajibnya menambahkan satu hari dalam rangka menyelisihi (kaum Yahudi), atau minimalnya menunjukkan makruh menyendirikan shaum pada hari itu (hari ke-10) saja. Pendapat yang menyatakan makruh menyendirikan shaum pada hari itu saja merupakan pendapat yang kuat.”

[Liqa`at Babil Maftuh]

Sementara itu, ketika Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`ditanya apakah boleh melaksanakan shaum ‘Asyura` satu hari saja? Maka lembaga tersebut menjawab :

“Boleh melaksanakan shaum hari ‘Asyura` satu hari saja. Namun yang afdhal (lebih utama) adalah bershaum sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Ini merupakan sunnah yang pasti dari Nabi shalallahu’alaihi wa sallam berdasarkan sabda beliau “Kalau saya masih hidup hingga tahun depan, niscaya aku akan bershaum pada hari ke-9.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata : “Yakni bersama hari ke-10.”

Wabillahit Taufiq. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa Shahbihi wa Sallam.

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`

Anggota : ‘Abdullah bin Ghudayyan

Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi

Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

[dari Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta` X/401, fatwa no. 13.700]
sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=294
Rabu, 25 November 2009 -

Dzulhijjah, Bulan Mulia Penuh Ibadah

Dzulhijjah, Bulan Mulia Penuh Ibadah

Penjelasan Ringkas tentang

10 Hari Pertama Dzulhijjah, Qur’ban, dan Hari Raya ‘Idul ‘Adh-ha

oleh :

Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين .. وبعد :

Sesungguhnya di antara keutamaan dan karunia yang Allah berikan kepada makhluk-Nya adalah dijadikannya musim (masa-masa tertentu) bagi hamba-hamba-Nya yang shalih untuk memperbanyak amal shalih di dalamnya. Di antara musim (masa-masa) tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

1. Allah Ta’ala berfirman:

وَالفَجرِ وَلَيَالٍ عَشرٍ.

“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (Al-Fajr: 1-2)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan malam yang sepuluh adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu Az-Zubair, Mujahid, dan yang lainnya. Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari.”

2. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر. قالوا: ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجلٌ خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك بشيء.

“Tidak ada hari-hari di mana amalan shalih yang dikerjakan di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari ini. Para shahabat bertanya: Termasuk pula jihad fi sabilillah? Beliau bersabda: Ya, termasuk pula jihad fi sabilillah, kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya dan tidak kembali darinya sedikit pun.” (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi. Lafazh ini adalah lafazh Abu Dawud)

3. Allah ta’ala berfirman:

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ.

“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (Al Hajj: 28)

Ibnu ‘Abbas berkata: “(Yakni) sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” (Tafsir Ibni Katsir).

4. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ما من أيام أعظم عند الله سبحانه ولا أحب إليه العمل فيهن من هذه الأيام العشر؛ فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد.

“Tidak ada hari yang lebih agung dan lebih dicintai di sisi Allah subhanahu wata’ala jika amalan shalih dikerjakan di dalamnya daripada sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.” (HR. Ahmad)

5. Sa’id bin Jubair rahimahullah -dan beliau yang meriwayatkan hadits Ibnu ‘Abbas (poin no. 2) di atas- ketika telah memasuki sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh untuk beribadah sampai-sampai hampir beliau tidak mampu untuk mengerjakannya. (HR. Ad-Darimi)

6. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkata: “Dan yang tampak dari sebab diistimewakannya sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah karena waktu tersebut merupakan tempat berkumpulnya (dan ditunaikannya) induk dari berbagai macam ibadah, yaitu shalat, puasa, shadaqah, dan haji. Itu semua tidak terjadi pada waktu yang lain.”

Amalan Yang Disunnahkan

Untuk Dikerjakan Pada 10 Hari Pertama Dzulhijjah

1. Shalat

Disunnahkan untuk bersegera menunaikan (shalat) fardhu dan memperbanyak yang sunnah, karena ini adalah termasuk amalan yang paling afdhal untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عليك بكثرة السجود لله، فإنك لا تسجد لله سجدة إلا رفعك الله بها درجة، وحطَّ عنك بها خطيئة.

“Wajib atas kamu untuk memperbanyak sujud kepada Allah, karena seseunnguhnya tidaklah kamu bersujud kepada Allah sekali saja melainkan Allah akan mengangkat satu derajatmu dan Allah akan menghapus satu kesalahan darimu.” (HR. Muslim).

Dan ini (bersujud) mencakup semua waktu, kapan pun dilaksanakan.

2. Puasa

Karena puasa termasuk dalam keumuman amal shalih (yang disunnahkan untuk diperbanyak pada hari-hari itu). Dari Hunaidah bin Khalid, dari istrinya, dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata:

كان رسول الله يصوم تسع ذي الحجة، ويوم عاشوراء، وثلاثة أيام من كل شهر.

“Dahulu Rasulullah berpuasa pada hari kesembilan bulan Dzulhijjah, dan hari ‘asyura’ (tanggal sepuluh Muharram), dan tiga hari pada setiap bulannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan An Nasa’i).

Al-Imam An-Nawawi mengatakan tentang puasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah bahwa itu adalah amalan yang sangat disenangi (disunnahkan).

3. Takbir, Tahlil, Tahmid

Berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan di atas:

فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد.

“Maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.”

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata: “Ðahulu Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma keluar menuju pasar pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan bertakbir, kemudian orang-orang pun juga ikut bertakbir ketika mendengar takbir keduanya.”

Beliau (Al-Imam Al-Bukhari) juga berkata: “Dan ‘Umar dahulu bertakbir di kubahnya di Mina, maka kemudian orang-orang yang berada di dalam masjid mendengarnya dan mereka pun ikut bertakbir, dan orang-orang yang berada di pasar pun juga ikut bertakbir sampai-sampai Mina bergetar disebabkan suara takbir mereka.”

Dan Ibnu ‘Umar dahulu bertakbir di Mina pada hari-hari tersebut, dan juga bertakbir setiap selesai mengerjakan shalat, bertakbir ketika berada di atas ranjangnya, di dalam kemahnya, di majelisnya, dan di setiap perjalanannya pada hari-hari tersebut.

Dan disenangi (disunnahkan) untuk mengeraskan bacaan takbir sebagaimana yang dilakukan Umar, anaknya (yakni Ibnu ‘Umar), dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum.

Sudah sepantasnya bagi kita kaum muslimin untuk menghidupkan kembali sunnah tersebut yang sudah hilang pada zaman ini dan hampir dilupakan bahkan oleh ahlu ash shalah wal khair (orang-orang yang memiliki kebaikan dan keutamaan) sekalipun. Dan yang memprihatinkan adalah apa yang terjadi sekarang justru menyelisihi amaliyah yang biasa dilakukan as salafush shalih.

Lafazh Takbir

Ada tiga lafazh,

Pertama :

الله أكبر. الله أكبر. الله أكبر كبيراً.

Kedua :

الله أكبر. الله أكبر. لا إله إلا الله. والله أكبر. الله أكبر ولله الحمد.

Ketiga :

الله أكبر. الله أكبر. الله أكبر. لا إله إلا الله. والله أكبر. الله أكبر. الله أكبر ولله الحمد.

4. Puasa hari Arafah

Puasa pada hari Arafah sangat ditekankan berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tentang puasa hari Arafah:

أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده.

“Aku berharap kepada Allah untuk menghapus dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya.” (HR. Muslim).

Beliau juga bersabda ketika ditanya tentang puasa ‘Arafah :

يكفر السنة الماضية والباقية

“(Puasa Arafah tersebut) menghapuskan dosa satu tahun yang lalu dan yang akan datang.” (HR. Muslim)

Akan tetapi barangsiapa yang berada di Arafah -yakni sedang beribadah haji-, maka tidak disunnahkan baginya berpuasa karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan wuquf di Arafah dalam keadaan berbuka (tidak berpuasa).

Keutamaan Hari Nahr [1]

Kebanyakan kaum muslimin melalaikan hari ini, kebanyakan kaum mukminin pun lalai dari kemuliaan dan keutamaannya yang sangat besar, banyak, dan melimpah pada hari tersebut. Demikianlah, padahal sebagian ‘ulama berpendapat bahwa hari itu adalah hari yang paling afdhal (utama) dalam setahun secara mutlak termasuk juga (lebih afdhal daripada) hari Arafah.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Sebaik-baik hari di sisi Allah adalah hari Nahr, dan dia adalah hari Haji Akbar.”

Sebagaimana yang disebutkan dalam Sunan Abi Dawud dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

إن أعظم الأيام عند الله يوم النحر، ثم يوم القرِّ.

“Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari Nahr, kemudian hari Al Qarr.”

Hari Al Qarr adalah hari ketika berada di Mina, yaitu hari ke-11 (bulan Dzulhijjah).

Pendapat lain mengatakan bahwa hari Arafah afdhal (lebih utama) daripada hari Nahr, karena puasa yang dikerjakan pada hari itu akan menghapus kesalahan yang dilakukan selama dua tahun (setahun sebelumnya dan setahun setelahnya), dan tidak ada hari yang Allah membebaskan hamba dari Neraka lebih banyak daripada pada hari Arafah, dan juga karena Allah subhanahu wata’ala akan mendekat kepada hamba-hamba-Nya pada hari itu kemudian Allah akan membanggakan orang-orang yang wuquf di hadapan para malaikat.

Yang benar adalah pendapat pertama, karena hadits yang menunjukkan hal tersebut tidak ada satu dalil pun yang menyelisihinya.

Sama saja apakah yang afdhal (lebih utama) itu hari Nahr atau hari Arafah, maka setiap muslim hendaknya bersemangat, baik dia sedang berhaji maupun sedang mukim (tidak berhaji) untuk meraih keutamaannya dan memanfaatkan kesempatan pada hari itu (untuk banyak melakukan amalan kebajikan).

Bagaimana Menyambut Musim (masa-masa) yang Penuh Kebaikan?

1. Sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk menyambut setiap musim (masa-masa) yang penuh kebaikan dengan taubat yang jujur dan sebenar-benarnya, dengan meninggalkan segala bentuk perbuatan dosa dan maksiat karena sesungguhnya dosa-dosa itu akan menyebabkan seseorang diharamkan dari keutamaan Rabbnya dan akan menghalangi hati dari Penolongnya (Allah ta’ala).

2. Demikian pula hendaknya musim (masa-masa) yang penuh kebaikan itu disambut dengan tekad yang jujur dan kesungguhan untuk memanfaatkan masa tersebut dengan menjalankan amalan yang bisa mendatangkan ridha Allah ‘Azza wa Jalla. Barangsiapa yang jujur kepada Allah, maka Allah akan membenarkannya.

وَالَّذِينَ جَاهَدُواْ فِينَا لَنَهدِيَنَّهُمّ سُبُلَنَا.

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. (Al-’Ankabut: 69)

Wahai saudaraku muslim, bersemangatlah untuk memanfaatkan kesempatan ini sebelum lewat darimu, yang akan menyebabkan kamu menyesal, tidak ada waktu untuk menyesal. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepadaku dan kepada kamu untuk bisa memanfaatkan musim (masa-masa) yang penuh kebaikan ini, dan kami memohon kepada-Nya pertolongan agar bisa menjalankan ketaatan dan bagusnya ibadah kepada-Nya pada masa tersebut.

Sekelumit Hukum-Hukum terkait dengan Al-Udh-hiyah (Qurban) dan Pensyari’atannya

Al-Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari-hari Adh-ha disebabkan adanya ‘Id (Hari Raya), dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wajalla.

Amalan ini merupakan salah satu bentuk ibadah yang disyari’atkan dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.

Adapun dalam Kitabullah, Allah ta’ala berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berqurbanlah.” (Al-Kautsar: 2)

Dan firman-Nya:

قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ.

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sesembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An’am: 162-163)

Waktu Pelaksanaan Al-Udh-hiyah

Al-Udh-hiyah adalah ibadah yang tertentu waktunya, bagaimanapun kondisinya tidak boleh dilaksanakan sebelum waktunya, dan tidak boleh pula dilaksanakan setelah keluar dari waktunya, kecuali jika mengakhirkannya dalam rangka mengqadha’ disebabkan ‘udzur tertentu.

Awal waktu pelaksanaannya adalah setelah shalat ‘Id bagi yang mengerjakan shalat ‘Id, seperti orang-orang yang tinggal di daerahnya (tidak dalam keadaan safar). Atau juga dilaksanakan setelah ada kesempatan bagi orang-orang yang tidak mengerjakan shalat ‘Id, seperti musafir dan penduduk yang tinggal di pedalaman (Badui).

Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat (’Id) maka hewan yang disembelih tadi adalah hewan sembelihan biasa, bukan termasuk Udh-hiyah dan wajib untuk menyembelih lagi dengan tata cara yang sama setelah shalat sebagai penggantinya, hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من ذبح قبل الصلاة فإنما هو لحم قدمه لأهله ، وليس من النسك في شيء.

“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sesungguhnya itu hanya daging sembelihan biasa yang disuguhkan untuk keluarganya saja, dan bukan termasuk nusuk (sembelihan qurban) sedikitpun.” (Ahmad dan Ibnu Majah)

Dan diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ومن ذبح بعد الصلاة فقد تم نسكه ، وأصاب سنة المسلمين.

“Dan barangsiapa yang menyembelih setelah shalat, maka sempurnalah nusuk (ibadah qurban)nya dan mencocoki sunnah kaum muslimin.”

Jenis (Keadaan) Hewan Yang Layak dan Memenuhi Kriteria Untuk Dijadikan Hewan Qurban

Hewan yang dijadikan qurban adalah dari jenis hewan ternak saja, berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكاً لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأَنْعَامِ.

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka.” (Al-Hajj: 34).

Hewan ternak yang dimaksud di sini adalah unta, sapi, kambing baik dari jenis dha’n (domba) maupun ma’z (kambing jawa). Demikain yang dinyatakan Ibnu Katsir, dan beliau berkata: “Ini adalah pendapat Al-Hasan, Qatadah, dan yang lainnya. Ibnu Jarir berkata: Demikian juga jenis seperti inilah yang dimaksud di kalangan orang Arab.” -selesai penukilan-.

Dan juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

لا تذبحوا إلا مسنة إلا أن تعسر عليكم فتذبحوا جذعة من الضأن.

“Janganlah kalian menyembelih (hewan qurban) kecuali musinnah. Kecuali jika kalian kesulitan mendapatkannya, maka dibolehkan bagi kalian untuk menyembelih jadza’ah (yang berumur muda) dari jenis dha’n.” (HR. Muslim)

Musinnah adalah Tsaniyah. Tsaniyah pada Unta adalah unta yang genap berumur lima tahun. Tsaniyah pada Sapi adalah sapi yang genap berumur dua tahun. Tsaniyah pada Kambing (baik dari jenis dha’n maupun ma’z) adalah yang genap berumur satu tahun.

Adapun jadza’ dari jenis dha’n adalah yang genap berumur setengah tahun.

Dan juga karena Udh-hiyah adalah merupakan ibadah sebagaimana Hadyu (sesembelihan yang dilakukan jama’ah haji), sehingga amalan ini tidak disyari’atkan kecuali dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak pernah dinukilkan dari beliau bahwa beliau menyembelih untuk hadyu maupun qurban dari selain unta, sapi, dan kambing.

Yang paling afdhal (utama) adalah unta, kemudian sapi, kemudian dha’n (domba), kemudian ma’z (Kambing Jawa), kemudian sepertujuh dari unta, dan kemudian sepertujuh dari sapi.

Dan yang paling afdhal dari itu semua adalah yang paling gemuk, banyak dagingnya, sempurna fisiknya, dan bagus dipandang. Dalam Shahih Al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يضحي بكبشين أقرنين أملحين.

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu berqurban dengan menyembelih dua kambing kibasy yang bertanduk dan amlah.”

Amlah adalah yang warna putihnya bercampur dengan hitam.

Keadaan Hewan Qurban yang Harus Dihindari

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya: “Hewan qurban yang bagaimana yang hendaknya dihindari?” Maka beliau memberikan isyarat dengan tangannya dan bersabda:

أربعا : العرجاء البين ظلعها ، والعوراء البين عورها ، والمريضة البين مرضها ، والعجفاء التي لا تنقي.

“Ada empat, yaitu (1) yang pincang dan jelas pincangnya, (2) yang rusak matanya dan jelas kerusakannya, (3) yang sakit dan jelas sakitnya, dan (4) yang kurus dan tidak bersumsum.” (HR. Abu Dawud no. 2802, At-Tirmidzi no. 1502, Ibnu Majah no. 3144 dengan sanad yang dishahihkan oleh An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Majmu’ 8/227. )

Pada riwayat At-Tirmidzi disebutkan Al-’Ajfa’ (yang kurus), dan dalam riwayat An-Nasa’i disebutkan pengganti dari lafazh Al-Kasir (yang lemah).

Keempat keadaan ini telah disebutkan secara nash tentang larangannya dan belum memenuhi kriteria untuk dijadikan hewan qurban, yaitu:

1. Yang rusak matanya dan jelas kerusakannya, yaitu yang matanya cekung ataupun cembung. Jika hewan tadi tidak bisa melihat dengan matanya akan tetapi kerusakannya tidak nampak jelas, maka itu masih memenuhi kriteria. Akan tetapi jika selamat (sehat) dari kelainan tersebut, maka itu lebih baik.

2. Yang sakit dan jelas sakitnya, yaitu yang nampak pengaruh sakitnya pada hewan tersebut, seperti demam yang menghalanginya dari gembalaan (tidak bisa digembalakan), dan juga seperti kudis yang parah dan bisa merusak daging atau berpengaruh terhadap kesehatannya, atau yang semisalnya dari penyakit yang dianggap oleh orang-orang sebagai penyakit yang nyata. Jika pada hewan ada sifat malas atau tubuhnya lemah yang tidak menghalangi dari gembalaan (bisa digembalakan) dan dimakan, maka ini sudah mencukupi kriteria, akan tetapi jika dipilih hewan yang kondisinya lebih segar, maka itu lebih baik.

3. Yang pincang dan jelas pincangnya, yaitu yang tidak mampu berjalan bersama hewan-hewan lain yang sehat (sehingga selalu tertinggal). Jika hewan tersebut mengalami kepincangan yang ringan dan tidak menghalanginya dari berjalan bersama hewan-hewan yang lain (bisa berjalan normal seperti yang lainnya), maka ini sudah mencukupi kriteria, akan tetapi memilih hewan yang lebih sehat (tidak ada kepincangan padanya) itu lebih baik.

4. Yang lemah atau kurus tidak bersumsum, jika hewan tersebut kurus atau lemah tetapi masih ada sumsumnya, maka ini sudah mencukupi. Kecuali jika hewan tersebut mengalami kepincangan yang sangat jelas. Akan tetapi hewan yang gemuk dan sehat itu lebih baik.

Inilah empat keadaan hewan yang secara nash disebutkan dalam hadits tersebut tentang larangan menjadikannya sebagai hewan qurban. Para ulama juga berpendapat demikian. Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam kitab Al-Mughni mengatakan: “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang tidak terpenuhinya kriteria binatang yang demikian kondisinya sebagai hewan qurban.” -Selesai penukilan-.

Termasuk juga hewan yang tidak boleh dijadikan qurban adalah jika kondisinya semakna (seperti) dengan empat keadaan di atas atau bahkan yang lebih parah dari itu. Masuk dalam kategori ini adalah:

1. Yang mengalami kebutaan, yaitu yang tidak bisa melihat dengan matanya. Hewan ini lebih layak untuk tidak memenuhi kriteria hewan qurban, karena kondisinya lebih parah daripada hewan “yang rusak matanya dan jelas kerusakannya.”

Adapun hewan yang menderita rabun senja, yakni bisa melihat hanya pada waktu siang dan tidak bisa melihat pada malam hari, maka madzhab Asy-Syafi’i menyatakan bahwa itu sudah mencukupi kriteria, karena yang demikian tidak tergolong hewan “yang rusak matanya dan jelas kerusakannya”, dan tidak pula termasuk yang buta terus menerus sehingga mempengaruhi penggembalaan dan perkembangbiakannya. Akan tetapi hewan yang tidak menderita seperti itu lebih baik.

2. Yang mengalami sakit pencernaan, sampai dia bisa membuang kotorannya (berak). Karena penyakit pada pencernaan itu akan menimbulkan bahaya seperti penyakit yang nyata. Jika dia berhasil membuang kotorannya (berak), maka hilanglah kondisi kritis pada hewan tersebut dan sudah bisa mencukupi kriteria untuk dijadikan hewan qurban jika tidak terjadi dengannya penyakit yang jelas.

3. Hewan yang mau melahirkan sampai dia selamat (ketika melahirkan), karena kondisi seperti ini sangat berbahaya, terkadang bisa memutus kehidupannya (mati) sehingga diserupakan dengan penyakit yang nyata. Bisa saja hewan tersebut memenuhi kriteri untuk dijadikan hewan qurban jika melahirkan itu memang menjadi kebiasaan baginya dan tidak mengalami masa yang membuat dagingnya berubah dan rusak.

4. Hewan yang mengalami sesuatu yang menyebabkan kematian seperti tercekik, terpukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas. Karena yang demikian kondisinya itu lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan qurban daripada hewan “yang menderita sakit yang jelas sakitnya” dan hewan “yang pincang dan jelas kepincangannya.”

5. Az-Zumna, yaitu hewan yang lemah tidak mampu berjalan karena penyakit tertentu, ini lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan qurban daripada hewan “yang pincang dan jelas kepincangannya.” Adapun hewan yang lemah tidak mampu berjalan karena kegemukan, maka madzhab Malikiyah meyatakan hal itu sudah mencukupi karena tidak adanya penyakit pada hewan tersebut dan tidak ada cacat pada tubuhnya.

6. Hewan yang terpotong salah satu tangan atau kakinya, karena ini juga lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan qurban daripada “yang pincang dan jelas kepincangannya.” Dan juga karena telah hilang bagian yang vital dari tubuhnya sehingga diserupakan dengan hewan yang terpotong ekornya.

Inilah di antara cacat yang menghalangi terpenuhinya kriteria ideal hewan qurban, yaitu ada sepuluh, empat di antaranya telah disebutkan secara nash dan yang enam adalah dengan qiyas. Jika didapati salah satu dari keadaan-keadaan (cacat) tersebut pada hewan ternak, maka tidak boleh berqurban dengannya karena tidak terpenuhinya salah satu syarat yaitu selamat (sehat) dari cacat yang bisa menghalangi terpenuhinya kriteria ideal hewan qurban.

Apakah Boleh Berqurban Atas Nama Mayit (Orang yang Sudah Meninggal Dunia)?

Pada asalnya berqurban itu disyari’atkan terhadap orang-orang yang masih hidup sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya dahulu berqurban untuk diri mereka sendiri dan keluarganya. Adapun permasalahan yang diyakini sebagian orang awam yaitu pengkhususan qurban untuk orang yang sudah meninggal, maka ini tidak ada dasarnya dalam syari’at ini.

Berqurban atas nama orang yang sudah meninggal ada tiga macam:

1. Berqurban atas nama orang yang sudah mati tetapi sifatnya hanya mengikuti yang masih hidup, seperti seseorang berqurban atas nama dirinya sendiri dan keluarganya, dan dia meniatkan keluarga yang dimaksud di sini adalah yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Dasar dari amalan ini adalah qurban yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berqurban atas nama diri beliau sendiri dan keluarganya, dan di antara anggota keluarganya ada yang sudah meninggal sebelumnya.

2. Berqurban atas nama mayit dalam rangka menjalankan wasiatnya. Dasar dari amalan ini adalah firman Allah ta’ala:

فَمَن بَدَّلَهُ بَعدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِلُونَهُ إِنَّ اللهَ سَمِيع عَلِيمٌ.

“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah: 181)

3. Berqurban atas nama mayit dalam rangka shadaqah yang terpisah (berdiri sendiri) dari yang masih hidup, maka ini diperbolehkan. Para ulama madzhab Al-Hanabilah menyatakan bahwa pahalanya akan sampai kepada si mayit dan bisa memberikan manfaat baginya, atas dasar qiyas dengan amalan shadaqah atas nama dia.

Akan tetapi kami tidak memandang bahwa pengkhususan qurban atas nama orang yang sudah meninggal itu merupakan sunnah (tuntutan Nabi), karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengkhususkan berqurban atas nama seorang pun dari orang-orang yang sudah meninggal. Tidak pernah beliau berqurban atas nama paman beliau, Hamzah, padahal dia adalah salah seorang kerabat yang paling mulia di sisi beliau. Dan tidak pula beliau berqurban atas nama anak-anaknya yang telah meninggal ketika beliau masih hidup, tiga anak perempuan yang telah menikah dan tiga anak laki-laki yang masih kecil. Dan tidak pula beliau berqurban atas nama istri beliau, Khadijah padahal beliau adalah salah seorang istri yang paling beliau cintai. Dan tidak pernah pula disebutkan dari para shahabat pada zamannya, bahwa salah seorang dari mereka berqurban atas nama seseorang yang sudah meninggal.

Dan kami juga melihat di antara kesalahan yang dilakukan sebagian orang adalah mereka berqurban (menyembelih hewan) atas nama orang yang telah meninggal pada awal tahun kematiannya yang mereka namakan dengan Udh-hiyatul Hufrah. Mereka berkeyakinan bahwa tidak boleh bagi seorang pun untuk bersama-sama dalam meraih pahala dengan si mayit tersebut. Atau mereka berqurban dari harta orang yang sudah meninggal dalam rangka shadaqah ataupun menjalankan wasiatnya, dan tidak berqurban atas nama diri sendiri dan keluarganya. Kalau seandainya mereka mengetahui bahwa seseorang jika berqurban dari hartanya sendiri atas nama diri dan keluarganya baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, maka mereka tidak akan meninggalkan yang seperti ini untuk berpaling kepada amalan mereka (sebelumnya) tersebut.

Hal-Hal Yang Harus Dijauhi Oleh Seseorang Yang Hendak Berqurban

Jika seseorang hendak berqurban dan telah memasuki bulan Dzulhijjah - baik dengan cara ru’yatul hilal maupun menyempurnakan bulan Dzulqa’dah menjadi 30 hari - maka diharamkan baginya untuk mengambil (memotong) sedikitpun dari rambut, kuku, dan kulitnya sampai dia benar-benar telah menyembelih hewan qurbannya. Berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذا دخلت العشر وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره.

Jika telah masuk sepukuh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih hewan qurban, maka tahanlah (tidak memotong) dari rambut dan kukunya.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Dan dalam lafazh yang lain:

فلا يمسَّ من شعره ولا بشره شيئاً حتى يضحي.

Maka janganlah menyentuh (mengambil) rambut dan kulitnya sedikitpun sampai dia melaksanakan qurbannya.”

Dan jika niat untuk berqurban itu muncul di pertengahan sepuluh hari tersebut, maka hendaknya dia menahan diri (untuk tidak mengambil/memotong rambut, kuku, dan kulitnya) mulai saat itu juga, dan dia tidak berdosa jika pernah mengambil/memotongnya ketika sebelum berniat.

Hikmah larangan ini adalah bahwasamya seorang yang berqurban, yang berarti dia turut serta bersama jama’ah haji dalam melakukan sebagian amaliah manasik - yaitu dalam bentuk menyembelih hewan qurban - maka dia pun juga harus turut serta (dengan para jama’ah haji) dalam hal sebagian kekhususan (keadaan ketika) ihram, berupa menahan diri (tidak mengambil/memotong) rambut dan yang semisalnya. Atas dasar ini, maka dibolehkan bagi keluarga orang yang hendak berqurban untuk mengambil/memotong rambut, kuku, dan kulitnya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah tersebut.

Hukum ini khusus berlaku bagi orang yang hendak berqurban. Adapun bagi Al-Mudhahha ‘Anhu (pihak yang diatasnamakan padanya qurban), maka tidak ada kaitannya sama sekali dengan hukum tersebut karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وأراد أحدكم أن يضحي…

“Dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih hewan qurban …”

Dan tidak mengatakan:

“… ataupun juga bagi yang diatasnamakan padanya qurban.”

Di samping itu juga karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu pernah berqurban dengan mengatasnamakan keluarganya, namun tidak pernah dinukilkan dari beliau bahwa beliau memerintahkan mereka (keluarganya) untuk menahan diri (tidak mengambil/memotong) itu semua.

Dan jika orang yang hendak berqurban mengambil/memotong sedikit saja dari rambut, kuku, ataupun kulitnya, maka wajib atas dia untuk bertaubat kepada Allah ta’ala dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Tidak diwajibkan bagi dia untuk membayar kaffarah, dan tidak pula menghalangi dia untuk menyembelih hewan qurbannya sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang awam [2].

Dan jika mengambil/memotongnya itu disebabkan lupa atau tidak mengerti hukumnya, atau karena rambut tersebut rontok tanpa disengaja, maka tidak ada dosa baginya. Dan jika memang benar-benar sangat diperlukan untuk mengambil/memotongnya (karena darurat), maka yang demikian diperbolehkan baginya dan tidak terkenai tanggungan (dosa) sedikitpun, misalnya ketika kukunya patah yang menyebabkan gangguan padanya, sehingga dia harus memotongnya, ataupun rambutnya terurai ke bawah sampai mengenai kedua matanya sehingga dia harus menghilangkannya, dan juga karena sangat dibutuhkan untuk pengobatan luka dan yang semisalnya.

Beberapa Hukum Dan Adab Terkait Dengan Hari Raya ‘Idul Adh-ha Yang Penuh Barakah Ini

Saudaraku muslim, segala bentuk kebaikan adalah dengan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam semua aspek kehidupan kita. Dan segala bentuk kejelekan adalah dengan menyelisihi petunjuk Nabi kita. Oleh karena itulah kami bermaksud untuk menyebutkan kepada anda sebagian perkara yang disunnahkan untuk diamalkan ataupun diucapkan pada malam idul Adh-ha yang penuh barakah, hari Nahr (tanggal 10), dan tiga hari-hari Tasyriq (tanggal 11, 12, 13). Dan perkara-perkara tersebut telah kami ringkas dalam beberapa poin berikut :

Takbir

Disyari’atkan untuk mengumandangkan takbir sejak waktu fajar pada hari ‘Arafah (tanggal 9) sampai waktu ‘Ashr pada hari Tasyriq yang terakhir yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Allah Ta’ala berfirman:

وَاذكُرُواْ اللهَ فِي أَيَامٍ مَعدُودَاتٍ.

“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (Al Baqarah: 203)

Dan lafazh Takbir adalah:

الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر ولله الحمد

Dan disunnahkan untuk mengeraskannya bagi laki-laki, baik di masjid-masjid, pasar-pasar, rumah-rumah, dan setiap selesai shalat dalam rangka memperlihatkan keagungan Allah dan menampakkan ibadah dan rasa syukur kepada-Nya.

Menyembelih Hewan Qurban.

Dilakukan setelah pelaksanaan Shalat ‘Id, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

من ذبح قبل أن يصلي فليعد مكانها أخرى، ومن لم يذبح فليذبح.

“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat ‘Id, maka hendaklah dia menggantinya dengan yang lain, dan barangsiapa yang belum menyembelih (setelah shalat ‘Id), maka lakukanlah penyebelihan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dan waktu penyembelihan itu ada empat hari : hari Nahr (tanggal 10) dan tiga hari-hari Tasyriq (11, 12, 13), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

كل أيام التشريق ذبح.

“Semua hari-hari tasyriq adalah (waktu) penyembelihan.” (HR. Ahmad. Lihat As-Silsilah Ash-Shahihah no. 2476)

Mandi, Memakai Wewangian dan Memakai Baju Paling Bagus Bagi Laki-Laki tanpa berlebihan dan tidak isbal (Memanjangkan kain celana/sarung sampai melebihi mata kaki)

Dan tidak pula memotong jenggot karena ini semua adalah sesuatu yang diharamkan.

Adapun kaum wanita, maka disyari’atkan baginya untuk keluar ke mushalla ‘id tanpa tabarruj (berhias) dan memakai wewangian. Tidak sah jika melakukan ketaatan kepada Allah dan melakukan shalat, tetapi pada yang saat bersamaan bermaksiat kepada-Nya dengan melakukan tabarruj, tidak memakai hijab (cadar), dan memakai wewangian di hadapan laki-laki.

Makan Dari Hewan Sembelihan

Dahulu Rasulullah tidak makan sampai beliau pulang dari mushalla (tempat shalat ‘Id) dan kemudian memakan daging sembelihannya. (Zadul Ma’ad I/441)

Pergi ke Mushalla (Tempat Shalat) ‘Id dengan Berjalan Kaki, jika mudah baginya.

Dan menurut sunnah adalah shalat ‘id itu dilakukan di mushalla [3] kecuali jika di sana ada udzur seperti hujan, maka shalat di masjid berdasarkan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Shalat ‘Id Hukumnya Wajib, Adapun Menghadiri Khuthbah ‘Id Hukumnya Sunnah.

Masalah yang ditarjihkan oleh para muhaqqiqun (peneliti) dari kalangan para ‘ulama, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, adalah bahwa shalat ‘id itu hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah ta’ala:

فَصَلِّ لِرَبِكَ وَانحَر.

“Maka Dirikanlah shalat tarena Rabbmu; dan berqurbanlah.” (Al Kautsar: 2)

Dan kewajiban tersebut tidak akan gugur kecuali jika ada udzur. Para wanita juga (diwajibkan) menghadiri shalat ‘id bersama dengan kaum muslimin lainnya walaupun sedang mengalami haid maupun yang sedang berada dalam pingitan. Akan tetapi para wanita haid diharuskan berada pada posisi yang terpisah dengan mushalla.

Melewati Jalan yang Berbeda (Jalan Berangkat Berbeda dengan Jalan Pulang)

Disunnahkan bagi anda untuk pergi ke mushalla ‘id dengan melewati jalan tertentu dan ketika pulang dengan melewati jalan yang lain karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat yang demikian.

Mengucapkan Selamat Hari Raya, karena hal ini pernah dilakukan para shahabat Rasulullah.

Hati-Hati Dari Kesalahan Yang Sering Terjadi Pada Hari Raya

Berhati-hatilah wahai saudaraku muslim dari ketergelinciran kepada kesalahan yang banyak terjadi di tengah-tengah manusia, di antara kesalahan tersebut adalah:

1. Mengumandangkan takbir secara bersama-sama dengan satu suara (serempak) atau mengulang-ulang takbir di belakang seorang yang mengumandangkannya.

2. Melakukan permainan pada hari ‘id dengan sesuatu yang haram, seperti mendengarkan musik, menonton film, ikhthilat (bercampur baurnya laki-laki dan perempuan) yang bukan mahramnya, dan yang lainnya dari bentuk-bentuk kemungkaran.

3. Mengambil (menggunting) rambut dan memotong kuku walaupun sedikit sebelum menyembelih hewan qurbannya bagi yang akan berqurban karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang yang demikian.

4. Berlebihan dan boros (dalam menghamburkan harta) untuk sesuatu yang tidak ada manfaat dan mashlahatnya berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَلا تُسرِفُوا إِنّهُ لا يُحِبُّ المُسرِفِينَ.

“Dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Al An’am: 141)

Dan sebagai penutup, jangan lupa wahai saudaraku muslim untuk bersemangat dalam beramal kebajikan seperti silaturrahim, mengunjungi kerabat, meninggalkan sikap saling membenci, hasad, dan tidak suka kepada saudaranya, serta berupaya untuk membersihkan hati dari itu semua, menyantuni fakir miskin dan anak yatim, membantu mereka, dan berusaha menggembirakan mereka.

Kami memohon kepada Allah untuk memberikan taufiq-Nya kepada kita untuk beramal dengan amalan yang dicintai dan diridhai-Nya, dan agar Allah memberikan kepahaman terhadap agama kita, dan agar Allah menjadikan kita termasuk di antara hamba-hamba-Nya yang bisa beramal pada hari-hari ini -sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah- dengan amalan yang shalih dan ikhlas semata-mata mengharapkan wajah-Nya yang mulia.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Diambil dari Maqalat Wa Fatawa Wa Rasail

Fadhilatusy Syaikh Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahu ta’ala.

diterjemahkan oleh : Ust. Abu ‘Abdillah Kediri dan Abu ‘Amr Ahmad

[1] Tanggal 10 Dzulhijjah.

[2] Sebagian orang awam berkeyakinan kalau orang yang hendak berqurban memotong rambut, kuku, maupun kulitnya pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, maka dia harus membatalkan niatnya untuk berqurban tersebut. Ini adalah keyakinan yang keliru.

[3] Yakni selain masjid. Namun di luar masjid, berupa tanah yang lapang, kosong, dan luas yang diistilahkan mushalla. Biasanya terletak di pinggir desa/kampung.
sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=397#more-397
Minggu, 18 Oktober 2009 -

Renungan dan Nasehat

Sungguh Allah telah memberikan nikmat kepada kita semua wahai kaum muslimin, dengan kenikmatan yang sangat banyak dan kebaikan yang berlimpah. Kenikmatan terpenting dan terbesar adalah nikmat Islam. Itu adalah nikmat besar yang tidak sesuatu pun yang menyamainya. Barangsiapa yang memahaminya, mensyukurinya, dan istiqamah di atasnya, baik dalam ucapan maupun amalan, maka sungguh ia telah sukses meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

Jika kalian menghitung nikmat Allah, kalian tidak akan dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (Ibrahim : 34)

Sabtu, 26 September 2009 -

Puasa 6 Hari pada Bulan Syawwal

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

« من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر »

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan (puasa) enam pada bulan Syawwal, maka jadilah seperti puasa setahun.”

(HR. Muslim 782, dari shahabat Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu)

Selasa, 04 Agustus 2009 -

DAURAH ILMIAH AHLUS SUNNAH BERSAMA MASYAYIKH TAHUN 1430 - 2009

Alhamdulillah, segala pujian yang sempurna hanyalah milik Allah semata. Shalawat
dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wassallam, keluarga, sahabat beliau dan orang-orang yang mengikuti beliau
hingga akhir masa.

Pada tahun 1430 H ini, telah diselenggarakan
daurah ilmiah bersama para masyayikh Ahlus Sunnah dari Timur Tengah.

Daurah yang kelima ini menghadirkan
hafizhahumullahu jami’an :
1. Asy-Syaikh Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdurrahim Al-Bukhari (Saudi Arabia)
2. Asy-Syaikh ‘Abdullah ibn Shalfiq Azh-Dzufairi (Saudi Arabia)
3. Asy-Syaikh ‘Ali ibn Yahya Al-Haddadi (Saudi Arabia)
4. Asy-Syaikh Khalid ibn Dhahwi Azh-Zhafiri (Kuwait)

Tema :
“Jalan Keluar dari Problematika Hidup adalah
Kembali kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dengan bimbingan para Ulama”

ANDA MENGINGINKAN REKAMAN MUHADHOROHNYA?
(klik disini)
Senin, 16 Maret 2009 -

BIMBINGAN DALAM MENYIKAPI BERBAGAI PERISTIWA PENTING DAN TRAGEDI BESAR YANG MENIMPA KAUM MUSLIMIN

بسم الله الرحمن الرحيم


Termasuk Tragedi Jalur Gaza Palestina

bersama :

Asy-Syaikh DR. ‘Abdullah bin ‘Abdirrahim Al-Bukhari hafizhahullah

Pengantar : Alhamdulillah, berkat rahmat dan taufiq Allah serta kemudahan dari-Nya Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahim Al-Bukhari hafizhahullah berkesempatan menyampaikan muhadharah (ceramah) dan nasehat kepada kaum muslimin. Muhadharah tersebut disampaikan via telepon di Ma’had As-Salafy Jember pada 24 Muharram 1430 H bertepatan dengan 21 Januari 2009.

Alhamdulillah rekaman muhadharah tersebut telah kami tampilkan dan mendapat sambutan yang sangat hangat dari para pembaca sekalian. Kami mohon maaf jika pada rekaman tersebut terdapat suara atau kalimat yang kurang jelas.

Untuk membantu segenap pembaca sekalian memahami isi muhadharah tersebut, kami berupaya menerjemahkannya. Namun karena ada bagian dari rekaman yang kurang jelas, di samping adanya banyak kekurangan pada kami, mohon ma’af jika ada bagian yang terpaksa tidak kami terjemahkan sehingga kami beri titik-titik saja, atau bahkan mungkin ada yang kurang jelas atau salah dalam menerjemahkan.

Semoga upaya ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Saran dan kritik membangun kami harapkan dari pembaca sekalian.

NB : untuk bagian tanya jawab belum kami terjemahkan.

Penerjemah

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن نبينا محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم،

أما بعد؛ فأن أصدق الحديث كتاب الله تعالى وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وآله وسلم، وشر الأمور محدثاتها، وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار، وبعد :

Wahai saudara-saudaraku yang mulia.

Saya memuji Allah Jalla wa ‘Azz, Dzat yang tidak ada sesuatupun yang berhak diibadahi selain Dia dan tidak ada Rabb kecuali Dia, Yang telah menyiapkan pertemuan ini untuk kami dan antum semua. Dia adalah Dzat yang kita memohon kepada-Nya agar memberikan barakah dalam segala urusan yang bermanfaat untuk kita semua, dari apa yang ucapkan dan kita dengar. Sesungguhnya Dia Jawadun Karim.

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan, saya ingin mengingatkan diri saya sendiri kemudian saudara-saudaraku semua, dengan satu hadits yang mulia dari Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Hadits ini merupakan satu jawami’il kalim (penjelasan yang ringkas namun sangat padat dan luas maknanya) dari beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Rasulullah alahish shalatu was salam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih-nya masing-masing, hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

« مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ »

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya berucap dengan kata-kata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya ia memuliakan tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya ia memuliakan tamunya.” [1])

Permasalahan yang ingin aku jelaskan tentangnya dari hadits agung dan mulia di atas adalah kalimat pertama dari sabda beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya berucap dengan kata-kata yang baik atau diam.”

Hadits yang agung ini sebagaimana aku katakan tadi termasuk jawami’il kalim Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Hadits tersebut menunjukkan bahwa di antara yang tersebut dalam hadits tersebut, yaitu berucap dengan kata yang baik atau diam, memuliakan tetangga, dan memuliakan tamu, semuanya termasuk prilaku iman.

Suatu yang sudah diketahui, wahai saudaraku, bahwa di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa makna Iman adalah ucapan, amalan, dan keyakinan. Amalan-amalan tersebut, yakni amal-amal iman,

- terkadang terkait dengan hak-hak Allah ‘Azza wa Jalla seperti melaksanakan segala kewajiban dan meninggalkan segala larangan serta yang semisalnya,

- terkadang terkait dengan hak-hak Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam, seperti mengagungkan berbagai sunnah beliau dan berittiba’ (mengikuti) sunnah-sunnah tersebut serta membela dan menegakkanya, kemudian berdakwah kepadanya,

- terkadang berkaitan dengan hak-hak manusia seperti memuliakan tamu, memuliakan tetangga, menghilangkan gangguan, dan yang semisalnya.

Dari penjelasanku bahwa amal terkadang terkait dengan hak-hak manusia, maka itu juga meliputi hak-hak kedua orang tua, hak tetangga, hak tamu, hak anak-anak, hak-hak isteri, dan lain-lain.

- Di antaranya juga ada yang berkaitan dengan hak seseorang terhadap dirinya, yaitu sikap istiqamah pada lisannya sebagaimana terdapat hadits dalam kitab Al-Musnad dan yang lainnya :

لاَ يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ، وَلاَ يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ

Tidak akan bisa istiqamah iman seorang hamba sampai hatinya istiqamah, dan tidak akan bisa istiqamah hatinya sampai lisannya istiqamah. [2])

Meskipun tentang derajat hadits ini masih ada perbincangan (di kalangan para ‘ulama pakar hadits) namun ada hadits (lain) yang menunjukkan pada makna tersebut, yang (hadits lain tersebut) lebih utama untuk dijadikan dalil, yaitu hadits yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim :

« إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا يَنْزِلُ بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ »

Sungguh seseorang benar-benar bisa ia berucap dengan satu kalimat, ia tidak mengerti tentang kandungan ucapannya tersebut ternyata kalimat itu menggelincirkannya ke dalam neraka sejarak yang lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat. [3]

Dalam Shahih Al-Bukhari sabda Rasulullah r :

« إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً، يَرْفَعُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّمَ«

Sungguh seseorang benar-benar bisa ia berucap dengan satu kalimat yang mendatangkan keridhaan Allah, sehingga Allah pun mengangkatnya beberapa derajat. Sungguh seseorang benar-benar bisa ia berucap dengan satu kalimat yang mendatangkan kemurkaan Allah namun ia tidak mempedulikan kandungan ucapannya tersebut sehingga menggelincirkannya ke dalam neraka. [4])

Jadi termasuk hak-hak iman adalah hak-hak yang wajib ia penuhi terkait antara dirinya dan Rabbnya Jalla wa ‘Ala.

Kalau kita telah mengerti hal ini, maka jelasnya bagi kita nilai penting hadits ini, yaitu sabda Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam : Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya berucap dengan kata-kata yang baik atau diam.

Seseorang apabila ia merenungkan makna hadits yang agung ini dengan penuh keadilan dan pemahaman yang sempurna, maka akan jelas baginya hal-hal berikut :

Pertama : bahwa seorang hamba itu diperintahkan untuk berucap dengan kata-kata yang baik.

Kedua : seorang hamba itu diperintahkan untuk berdakwah kepadanya

Ketiga : seorang hamba dilarang dari berbicara dengan kebatilan

Keempat : dilarang untuk berbicara membela kebatilan

Kelima : diperintah untuk diam dari

Sebagaimana dijelaskan oleh para ‘ulama ketika mereka beristinbath (mengambil kesimpulan hukum) dari hadits yang agung ini, mereka (para ‘ulama tersebut) berkata :

Yaitu ada dua jenis ucapan dan dua jenis diam

1. a. Ucapan yang pengucapnya diberi pahala

b. Ucapan yang pengucapnya berdosa

2. a. Diam yang pelakunya diberi pahala

b. Diam yang pelakunya diberi dosa

1. a. Ucapan yang pengucapnya diberi pahala adalah barangsiapa yang mengucapkan kata-kata yang baik. Kebaikan di sini maknanya umum, termasuk di dalamnya adalah menjelaskan al-haq (kebenaran) kepada umat, membela kebenaran tersebut, dan orang-orang pendukung kebenaran serta para pengusungnya. Termasuk juga mengajarkan al-haq kepada umat manusia, amar ma’ruf nahi munkar, dan berbagai upaya menunjukkan pada kebaikan lainnya yang dinyatakan oleh Allah Jalla wa ‘Ala :

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ [آل عمران/110]

Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar,

Barangsiapa yang mengucapkan perkataan yang baik, yang ditegakkan di atas ilmu dan keadilan maka sungguh ia telah memenuhi sifat-sifat dan prilaku-prilaku iman, dan sungguh ia telah menyerupai para nabi dan menyerupai hamba-hamba Allah yang shalihin dengan ia memerintahkan kepada yang haq dan mencegah dari kebatilan.

1. b. Jenis kedua adalah orang yang berbicara dengan kebatilan. Inilah yang pengucapnya diberi dosa. Bisa jadi ia berbicara namun ia berbicara dengan kebatilan ……………………. Menentang syari’at dan menolak kebenaran. Mereka inilah orang-orang yang diancam oleh Allah Jalla wa ‘Ala. Hadits ini mengandung ancaman tersebut. Barangsiapa yang mengucapkan kejelekan -wal’iyyadzu billah- maka ia terkena ancaman dalam hadits Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam yang sedang kita bahas ini. Barangsiapa melakukan yang bertentangan dengan sifat-sifat yang (tersebut dalam hadits yang agung) ini maka ia telah menghilangkan sifat-sifat yang tersebut dalam hadits ini.

Aku katakan, bahwa Allah Jalla fi ‘Ulahu berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ، إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللهُ أَوْلَى بِهِمَا، فَلاَ تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا، وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (135) [النساء/135]

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar sebagai penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri, atau kedua orang tua kalian, maupun kaum kerabat kalian. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kalian kerjakan. [An-Nisa` : 135]

Ayat ini sangat agung dalam menjaga kehormatan dan harta seorang hamba, yaitu dengan melaksanakan perintah Allah untuk berbuat adil dan persaksian yang hak walaupun terhadap diri sendiri, kedua orang tua, dan karib kerabat, serta kebenciannya terhadap perkara-perkara yang dilarang …………….. . Oleh karena itu Allah melarangnya. Allah Jalla wa ‘Azz berfirman : Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Allah melarang mereka dari mengikuti hawa nafsu, penyebab ditinggalkannya keadilan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah.[5])

Adapun firman Allah : Jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam karya besarnya, yaitu kitab Ar-Risalah At-Tabukiyyah [6]) :

ذكر سبحانه السببين الموجبين لكتمان الحق محذرا منهما ومتوعدا عليهما

أحدهما : اللي

والآخر : الاعراض

فإن الحق اذا ظهرت حجته ولم يجد من يروم دفعها طريقا إلى دفعها أعرض عنها وأمسك عن ذكرها

“Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dua sebab yang mengantarkan kepada perbuatan menyembunyikan (menutup-nutupi) kebenaran, seraya Allah memperingatkan dan mengancam kedua perbuatan :

Pertama : Memutarbalikkan (kata-kata

Kedua : Enggan menjadi saksi

Karena kebenaran itu, apabila telah tampak hujjahnya dan tidak ada orang yang … .”

Aku katakan : Maka ini termasuk

2. b. sikap diam yang pelakunya berdosa karenanya, sebab dia mengetahui kebenaran namun ia menyembunyikannya.

Ini penjelasan bagian kedua dari pembagian di atas, bahwa diam itu ada yang diberi pahala, dan yang kedua ada diam yang mendapat dosa.

Kemudian Ibnul Qayyim melanjutkan :

أعرض عنها وأمسك عن ذكرها فكان شيطانا أخرس وتارة يلويها ويحرفها

“Berpaling darinya dan menahan dari menyebutkan kebenaran tersebut, maka ia menjadi syaithan bisa yang terkadang ia memutarbalikkan dan membolakbalikkan kebenaran tersebut.”

Bisa jadi ia mau menyebutkan kebenaran, namun dengan ia memutarbalikkan kebenaran tersebut. Ini termasuk mengucapkan kebatilan yang pelakunya juga berdosa.

Kemudian Ibnul Qayyim melanjutkan :

اللي مثال الفتل وهو التحريف

وهو نوعان : لي في اللفظ ولي في المعنى

فاللي في اللفظ أن يلفظ بها على وجه لايستلزم الحق إما بزيادة لفظه أو نقصانها أو إبدالها بغيرها

ولي في كيفية أدائها وإيهام السامع لفظا ومراده غير ذلك، كما كان اليهود يلوون السنتهم بالسلام على النبي r وغيره، فهذا أحد نوعي اللي

والنوع الثاني منه : لي المعنى وهو تحريفه وتاويل اللفظ على خلاف مراد المتكلم به وتحميله مالم يرده أو يسقط منه بعض ما أراد به، ونحو هذا من لي المعاني؛ فقال تعالى : وان تلووا او تعرضوا فان الله كان بما تعملون خبيرا

ولما كان الشاهد مطالبا باداء الشهادة على وجهها فلا يكتمها ولا يغيرها كان الاعراض نظير الكتمان، واللي نظير تغييرها وتبديلها

فتأمل ما تحت هذه الاية من كنوز العلم

“Memutarbalikan merupakan contoh pemalingan, yaitu at-tahrif (memalingkan al-haq tersebut dari makna sebenarnya). Pemutarbalikkan itu ada dua jenis :

- Pemutarbalikan lafazh

- Pemutarbalikkan makna

Pemutarbalikan lafazh, adalah mengucapkan kata-kata yang tidak bermakna al-haq. Bisa jadi dengan melakukan penambahan atau pengurangan kata, atau bisa jadi menggantinya dengan kata-kata lainnya. Termasuk juga pemutarbalikan dalam penyampaikan dengan mengesankan pada pendengar pada suatu lafazh tertentu padahal yang dimaukan bukan itu. Seperti perbuatan kaum Yahudi yang mengesankan bahwa lisan mereka menyucapkan salam kepada Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan lainnya. Inilah jenis pertama dari dua jenis pemutarbalikan.

Adapun jenis kedua adalah, pemutarbalikan makna, yaitu memalingkan dan menafsirkan makna lafazh dengan tidak sesuai dengan yang dimaukan oleh sang pengucapnya atau membawanya kepada pengertian yang sama sekali tidak dimaksudkan oleh sang pengucap, atau menghilangkan sebagian makna yang dimaksudkan, dan berbagai bentuk pemutarbalikkan makna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : ” Jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.”

Apabila seorang saksi dituntut untuk memberikan persaksiannya dengan benar, tidak menyembunyikan atau mengubahnya, maka sikap berpaling/tidak mau (memberikan kesaksian) sama dengan menyembunyikan (persaksian/kebenaran), sedangkan memutarbalikkan kata/makna itu sama dengan mengubah atau menggantinya.

Maka renungkanlah apa yang dikandung oleh ayat ini berupa perbendaharaan ilmu.

-sekian penjelasan Ibnul Qayyim semoga Allah merahmati dan mengampuni beliau-

Maka ucapan apabila dengan kebatilan maka itu termasuk pemutarbalikkan (kebenaran) dan sikap berpaling dari upaya menjelaskan kebenaran kepada umat.

Jenis Kedua, sikap diam -sebagaimana telah aku sebutkan bahwa ada dua bentuk sikap diam, yaitu diam yang diberi pahala dan diam yang mendapat dosa. Adapun diam yang mendapat pahala adalah menahan dari berbicara dengan kebatilan -

Adapun jenis kedua diam yang mendapat dosa, adalah diam dari menjelaskan kebenaran atau ada kebatilan namun ia diam. Wal’iyyadzubillah.

Oleh karena itu, seorang hamba harus menyadari bahwa Allah kelak akan menghisabnya, dan tidaklah terucap satu patah kata pun kecuali di sisinya ada malaikat pengawas yang selalu hadir. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman :

إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17) مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ (18) [ق/17، 18]

(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. [Qaf : 17-18]

Seorang yang senantiasa menghitung dirinya dan senantiasa berpikir jernih maka dia akan senantiasa mencari kekurangan dirinya, senantiasa merenungkan kandungan hadits-hadits Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan tidak bersikap seperti orang-orang dungu yang membuatnya berbicara dengan kebatilan atau diam dari kebenaran ketika ia mampu menjelaskannya.

Dari hadits ini kita mengetahui bahwa kalimat yang bukan merupakan kebaikan maka diam darinya lebih utama dari berbicara dengannya, kecuali apabila ada keperluan yang mengharuskan untuk mengucapkannya. Oleh karena itu terdapat riwayat dari shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallah ‘anhu bahwa beliau berkata :

« إياكم وفضول الكلام، حسب امريء ما بلغ حاجته »

“hati-hati kalian dari ucapan-ucapan yang berlebih. Cukuplah seseorang itu sekadar kebutuhannya.” [7])

Oleh karena diriwayatkan dari sebagian mereka bahwa manusia binasa dengan sebab kelebihan harta dan pembicaraannya, sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam An-Nakha’i rahimahullah. [8]) Termasuk dalam hal ini seorang yang hendak berbicara dengan sesuatu yang tidak ada keperluan atau menfaatnya, yaitu dia akan tertimpa kekerasan (hati) dan akan banyak tergelincir. Lahaula wala Quwwata illa billah.

Oleh karena itu para ‘ulama memuji sikap diam. Mereka mengatakan :

الصمت حكمة وقليل فاعله

Diam itu hikmah, namun sedikit sekali yang mau melakukannya. [9])

Wahb bin Munabbih juga berkata :

أجمعت الحكماء على أن رأس الحكمة الصمت

Para ahli hikmah sepakat bahwa hikmah yang paling utama adalah sikap diam. [10])

Sikap diam dengan pengertian yang telah kami jelaskan, yaitu :

- diam dari berbicara dengan kebatilan atau sesuatu yang tidak ada perlunya,

- dan sikap diam dari menjelaskan kebenaran, maka jenis ini mendapat dosa.

Maka berbicara itu tidaklah diperintahkan secara mutlak, demikian juga tidaklah sikap diam itu diperintahkan secara mutlak. Namun yang wajib adalah berbicara dengan kebaikan, dan diam dari berucap dengan kejelekan.

Semoga sampai di sini penjelasan tentang hadits Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam di atas sudah mencukupi dalam menjelaskan maksud hadits tersebut dalam konteks ini.

# # #

Saya katakan wahai saudara-saudaraku yang mulia,

Di antara yang termasuk dalam hadits ini, yaitu hadits Abu Hurairah di atas, bahwa banyak orang yang berani berbicara dalam permasalahan-permasalahan yang mereka sebenarnya tidak mengetahuinya. Maka ini termasuk berbicara dengan kebatilan, dan pelakunya mendapat ancaman. Inilah yang mengantarkanku untuk menyampaikan peringatan ini, bahwa banyak orang pada hari ini -walahaula wal quwwata illa billah- yang berani ikut-ikutan banyak bicara, namun -wal’iyyadzu billah- sedikit dari mereka yang sukses dan selamat ucapannya dari ancaman yang terdapat dalam hadits tersebut. Bahkan banyak dari mereka yang terkenai ancaman. Karena dia telah menjerumuskan dirinya, berani berkata atas nama (agama) Allah sesuatu yang tidak ia ketahui, tidak menahan dirinya …. Bahkan sebagiannya berani lancang terhadap syari’at. Padahal dalil-dalil syariat menunjukkan pada suatu yang berbeda dengan ucapannya, baik secara lafazh maupun secara istinbath.

Maka hendaknya umat manusia malu dari (perbuatan) tersebut, hendaknya mereka takut kepada Allah. Karena kelak Allah akan meminta pertanggungjawaban dari mereka semua atas segala perkataan dan ucapannya. Hendaknya mereka takut kepada Allah Jalla wa ‘Ala.

Oleh karena itu Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, sebagaimana dalam kitab karya beliau Ar-Risalah yang sangat terkenal :

الناس في العلم طبقات موقعهم من العلم بقدر درجاتهم في العلم به، فحق على طلبة العلم بلوغ غاية جهدهم في الاستكثار من علمه، والصبر على كل عارض دون طلبه، وإخلاص النية لله في استدراك علمه نصا واستنباطا، والرغبة إلى الله في العون عليه فإنه لا يدرك خير إلا بعونه، فإن من أدرك علم أحكام الله في كتابه نصا واستدلالا ووفقه الله للقول والعمل بما علم منه فاز بالفضيلة في دينه ودنياه، وانتفت عنه الريب، ونورت في قلبه الحكمة، واستوجب من الدين موضع الامامة

“Umat manusia dalam hal ilmu bertingkat-tingkat. Kedudukan mereka terhadap ilmu sesuai dengan kadar mereka dalam ilmu tersebut. Maka wajib atas para penuntut ilmu :

- menempatkan puncak tujuan keseriusannya (dalam menuntut ilmu) adalah dalam rangka memperbanyak ilmunya,

- sabar atas setiap ganggungan/penghalang dalam upayanya menuntut ilmu,

- mengikhlashkan niatnya karena Allah dalam memahami ilmunya baik secara nash (teks) maupun istinbath (kesimpulan),

- dan senantiasa berharap kepada Allah agar senantiasa mendapat pertolongan-Nya dalam menuntut ilmu karena kebaikan itu tidak akan bisa diraih kecuali dengan pertolongan-Nya.

Sesungguhnya barangsiapa yang mendapatkan ilmu tentang hukum-hukum Allah dalam kitab-Nya baik secara nash (teks) maupun pendalilan dan Allah memberikan taufiq kepadanya untuk berucap dan beramal dengan ilmu tersebut, maka ia telah sukses dengan keutamaan dalam agama dan dunianya, sirnalah darinya berbagai keraguan, hikmah bercahaya dalam hatinya, dan mengantarkannya meraih posisi imamah (kepemimpinan).”

Allah Jalla fi ‘Ulahu berfirman :

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الأَقَاوِيلِ (44) لأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ (45) ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ (46) فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ (47) [الحاقة/44-47]

“Seandainya dia (Muhammad) membuat-buat sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kalian yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.” [Al-Haqqah : 44 - 47]

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata :

يقول تعالى: { وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا } أي: محمد r لو كان كما يزعمون مفتريا علينا، فزاد في الرسالة أو نقص منها، أو قال شيئا من عنده فنسبه إلينا، وليس كذلك، لعاجلناه بالعقوبة. ولهذا قال { لأخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ } قيل: معناه لانتقمنا منه باليمين؛ لأنها أشد في البطش، وقيل: لأخذنا منه بيمينه.

{ ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ } قال ابن عباس: وهو نياط القلب، وهو العِرْقُ الذي القلب معلق فيه.

وقوله: { فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ } أي: فما يقدر أحد منكم على أن يحجز بيننا وبينه إذا أردنا به شيئا من ذلك. والمعنى في هذا بل هو صادق بار راشد؛ لأن الله، عز وجل، مقرر له ما يبلغه عنه، ومؤيد له بالمعجزات الباهرات والدلالات القاطعات.

Allah Ta’ala berfirman : “Seandainya dia membuat-buat atas (nama) Kami.” yakni Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam kalau seandainya ia berbuat kedustaan atas nama Kami, sehingga dia menambah atau mengurangi risalah, atau ia mengucapkan sesuatu dari dirinya sendiri kemudian menisbahkannya kepada Kami padahal tidak demikian, maka niscaya Kami segerakan hukuman untuknya.

Oleh karena itu Allah berfirman : “niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya.” Dikatakan bahwa maknanya adalah : Niscaya Kami siksa dia dengan tangan kanan, karena tangan kanan lebih kuat siksanya. Adapula yang mengatakan bahwa maknanya adalah : Niscaya Kami siksa dia dari kanannya.

“Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” Ibnu ‘Abbas berkata : itu adalah tali jantung. Yaitu urat yang jantung bergantung padanya.

Firman Allah : “Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kalian yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.” Yakni tidak ada seorangpun dari kalian yang mampu untuk menghalangi antara Kami dan dia apabila Kami telah menghendaki sesuatu dari itu.

Makna ayat ini : bahwa dia (Muhammad) adalah orang yang jujur, baik, dan berakal jernih. Karena Allah Ta’ala telah menyetujui segala yang beliau sampai dari-Nya dan menyokong beliau dengan berbagai mukjizat yang jelas dan bukti-bukti yang meyakinkan.

-selesai Ibnu Katsir rahimahullah -

Jadi, berucap tanpa atas dasar ilmu merupakan kedustaan dan kebohongan atas nama syari’at, sekaligus kedustaan atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Allah Jalla wa ‘Ala tidak memperkenankan kepada seorang pun untuk membuat-buat perkataan atas nama-Nya, dan Allah tidak membolehkan perbuatan tersebut bahkan meskipun terhadap Rasul-Nya sekalipun, dan sama sekali tidak, maka bagaimana dengan orang yang tingkatannya di bawah Rasulullah?

Allah Jalla wa ‘Ala berfirman :

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ [الأنعام/93]

“Siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: “Telah diwahyukan kepada saya”, padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya.” [Al-An’am : 93]

Al-’Allamah Ibnu Sa’di rahimahullah berkata :

يقول تعالى: لا أحد أعظم ظلما، ولا أكبر جرما، ممن كذب [على] الله. بأن نسب إلى الله قولا أو حكما وهو تعالى بريء منه، وإنما كان هذا أظلم الخلق، لأن فيه من الكذب، وتغيير الأديان أصولها، وفروعها، ونسبة ذلك إلى الله -ما هو من أكبر المفاسد.

“Allah Ta’ala berfirman : Tidak ada seorang pun yang lebih besar kezhalimannya dan lebih besar kejahatannya daripada orang yang berdusta atas nama Allah, yaitu dengan ia menisbahkan kepada Allah suatu perkataan atau hukum padahal Allah Ta’ala berlepas diri darinya. Orang tersebut menjadi makhluk yang paling zhalim karena pada perbuatannya tersebut terdapat kedustaan dan mengubah agama baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, kemudian menisbahkannya kepada Allah. Tidaklah perbuatan tersebut kecuali merupakan kerusakan yang paling besar.”

Wahai saudara-saudaraku yang mulianya,

Permasalahan ini merupakan permasalahan yang besar, namun banyak orang yang berani ikut-ikutan berbicara, masuk dalam perkara yang tidak ia ketahui, dan berbicara atas nama agama Allah tanpa dasar ilmu, serta berani ikut berbicara dalam perkara-perkara besar dan peristiwa-peristiwa yang rumit. Padahal yang wajib atas mereka untuk berpegang kepada al-haq, kalau memang ada kebaikan maka dia berbicara berdasarkan ilmu dan pengetahuan namun kalau dia tidak tahu maka hendaknya dia diam dan mengembalikannya kepada para ‘ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Di antaranya adalah tragedi sekarang ini, yang membuat kacau akal banyak orang. Muncul orang-orang yang berani ikut berbicara dan menjelaskan tragedi tersebut dengan penjelasan yang sangat jauh dari bimbingan syari’at, baik secara nash maupun secara istinbath (kesimpulan-kesimpulan hukum).

Peristiwa dan tragedi yang menimpa saudara-saudara kita kaum muslimin penduduk Jalur Gaza di Palestina.

Saya katakan, permasalahan yang sangat jelas bahwa :

C Kehormatan Darah satu orang mukmin sangat besar di sisi Allah Jalla wa ‘Ala. Banyak terdapat nash/dalil tentang hal tersebut, yang sangat menjunjung tinggi kehormatan darah seorang mukmin. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah dalam kitab Jami’-nya, bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam naik ke atas mimbar kemudian beliau berseru dengan suara yang sangat keras seraya berkata :

« يَا مَعْشَرَ مَنْ قَدْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ! لاَ تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ! وَلاَ تُعَيِّرُوهُمْ! وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ! فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِى جَوْفِ رَحْلِهِ »

“Wahai segenap orang-orang yang berislam dengan ucapan lisannya namun keimanannya tidak menyentuh qalbunya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian mencela mereka, dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka. Karena barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya muslim, maka pasti Allah akan terus mengikuti aibnya. Barangsiapa yang diikuti oleh Allah segala aibnya, maka pasti Allah akan membongkarnya walaupun dia (bersembunyi) di tengah rumahnya.”

Maka suatu ketika Ibnu ‘Umar Radhiyallah ‘anhuma melihat kepada Ka’bah dengan mengatakan (kepada Ka’bah) : “Betapa besar kedudukanmu dan betapa besar kehormatanmu, namun seorang mukmin lebih besar kehormatannya di sisi Allah dibanding kamu.”

Al-Imam At-Tirmidzi berkata tentang kedudukan hadits tersebut : “Hadits yang hasan gharib.” Dishahihkan oleh Al-’Allamah Al-Albani rahimahullah. [11])

Dalil-dalil dalam permasalahan ini sangat beraneka dan sangat banyak, yaitu tentang kehormatan darah satu orang mukmin.

Tidak diragukan bahwa permasalahan ini apabila sudah tertanam, yaitu merasakan besarnya nilai kehormatan darah seorang mukmin, maka akan sangat menyedihkan dia peristiwa yang ia dapatkan berupa perbuatan yang sangat besar dan kezhaliman yang sangat kejam yang dilakukan oleh bangsa Yahudi, umat yang dimurkai, yaitu kejahatan, kezhaliman, dan kebengisan mereka.

Kita, wahai saudara-saudaraku, tidak merasa aneh terhadap mereka atas berbagai kejahatan dan kezhaliman mereka. Karena mereka memang bangsa yang durhaka dan zhalim. Allah telah menyebutkan bahwa Yahudi adalah pembunuh para nabi Allah tanpa alasan yang benar. Maka apa yang bisa diharapkan dari bangsa yang zhalim itu, yang berani membunuh para nabi Allah tanpa alasan yang benar? Apa yang bisa diharapkan dari suatu bangsa yang tidak mencegah kemungkaran yang mereka lakukan?

Bangsa (Yahudi) tersebut adalah bangsa yang dimurkai, yang kita (Umat Islam) senantiasa berdo’a kepada Allah dalam setiap rakaat shalat kita agar Allah menjauhkan kita dari jalan mereka, yaitu dengan ucapan kita :

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ (7) [الفاتحة/6، 7]

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. [Al-Fatihah 6-7]

mereka yang dimurkai adalah bangsa Yahudi. Sedangkan mereka yang sesat adalah Nashara.

Ini yang pertama

C Kedua : Bahwa bentuk pertolongan kita terhadap saudara-saudara kita yang terzhalimi di segenap penjuru bumi wajib ditentukan berdasarkan hukum syari’at yang suci. Kita adalah umat yang dihukumi dan dirahmati dengan syari’at yang murni. Tidaklah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam wafat kecuali beliau telah meninggalkan kita di atas cahaya yang putih bersih, kondisi malam sama dengan kondisi siangnya, tidaklah menyimpang darinya kecuali orang yang binasa.

Maka kita harus mengetahui sebab-sebab yang benar yang wajib kita menempuhnya dalam rangka kita memberikan pertolongan kepada orang-orang yang terzhalimi dari kalangan ahlul haq ahlus sunnah di mana pun mereka berada. Karena pertolongan syari’iyyah terhadap mereka saudara-saudara kita di sana terwujudkan dalam beberapa perkara :

* Mendo’akan untuk mereka fi zhahril ghaib (tanpa sepengetahuan mereka). Kita berdo’a kepada Allah Jalla wa ‘Azza untuk mereka agar Allah memberikan keteguhan dan hidayah, maghfirah, serta bersatu di atas al-haq dan dengan al-haq. Kita berdo’a kepada Allah pada sepertiga malam terakhir. Kita berdo’a kepada Allah dalam sujud sebagaimana sabda Nabi ‘alaihish shalatu was salam :

« وأما السجود فأكثروا فيه الدعاء؛ فإنه قمن أن يستجاب لكم »

Adapun ketika sujud, maka perbanyaklah do’a padanya. Karena itu lebih terjamin untuk terkabulnya do’a kalian. [12])

Kita berdo’a kepada Allah untuk mereka ketika waktu-waktu mustajab dikabulkannya do’a, sebagaimana diterangkan oleh dalil-dalil syar’i.

Akan sampai nanti jawaban untuk pertanyaan tentang masalah qunut dalam shalat. Benar kita berdo’a kepada Allah dalam qunut pada shalat wajib. Namun hal itu sangat terkait dengan izin waliyyul amr (pemerintah), sebagaimana akan datang penjelesannya biidznillah.

Maka kita memohon kepada Allah Jalla wa ‘Azza agar menolak dari kita, mereka, dan segenap kaum mukminin, berbagai kezhaliman dan yang semisalnya. Semoga Dia mengokohkan kita dan mereka di atas kebenaran, Islam, dan Sunnah.

* Juga kita membantu saudara-saudara kita tersebut, baik di Palestina atau pun lainnya, memberikan hal-hal yang mereka butuhkan dalam bentuk menjelaskan al-haq (kebenaran) kepada mereka, membimbing mereka kepada hal-hal yang bermanfaat bagi mereka baik di dunia maupun di akhirat. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman :

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3) [العصر/1-3]

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, saling menasehati supaya mentaati kebenaran, dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran. [Al-’Ashr : 1 - 3]

* Di antara bentuk bantuan kita terhadap mereka juga, mengulurkan tangan untuk mereka bagi barangsiapa yang memiliki kemampuan untuk melakukannya, dalam bentuk sumbangan dana dan semisalnya yang disalurkan melalui jalur yang resmi dan terpercaya yang telah ditunjuk dan dipercaya oleh waliyyul amr (pemerintah) muslim serta diizinkan untuk menyampaikan dana bantuan ke sana. Ini bagi barangsiapa yang memiliki kemampuan, dan Allah tidaklah memberikan beban pada seseorang kecuali sebatas kemampuan yang ada padanya.

Maka cara menolong dan membantu mereka (kaum muslimin di Palestina) dilakukan dengan cara-cara di atas. Itulah bentuk-bentuk pertolongan dan bantuan untuk saudara-saudara kita di Palestina.

C Kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar menjadikan mereka bersabar, karena kesabaran merupakan ibadah sebagaimana jihad merupakan ibadah, sebagaimana pula shalat merupakan ibadah. Allah menuntut kita beribadah kepada-Nya dalam bentuk kesabaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (10) [الزمر/10]

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” [Az-Zumar : 10]

Oleh karena itu juga terdapat hadits dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Nabi ‘alaihish shalatu was salam ketika beliau diutus sebagai rasul, lalu berimanlah orang-orang beriman, yang itu terjadi di Makkah. Ketika orang-orang kafir menyiksa kaum muslimin dengan siksaan yang sangat kejam, baik dalam bentuk pemukulan, penyiksaan, atau pun lainnya, namun hal itu tidak mendorong Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam untuk melakukan perlawanan. Maka berkatalah Khabbab bin Al-Arat Radhiyallah ‘anhu :

شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللهِ r وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ، قُلْنَا لَهُ : أَلاَ تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلا تَدْعُو اللهَ لَنَا؟ قَالَ: كَانَ الرَّجُلُ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ لَهُ فِي الأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيهِ فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ -وفي رواية : بالمئشار- فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَتَيْنِ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ عَظْمٍ أَوْ عَصَبٍ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، وَاللهِ لَيُتِمَّنَّ هَذَا الأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لاَ يَخَافُ إِلاَّ اللهَ أَوْ الذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ

Kami mengadu kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam ketika beliau sedang berbantalkan burdahnya di bawah Ka’bah –di mana saat itu kami telah mendapatkan siksaan dari kaum musyrikin–. Kami berkata kepada beliau : “Wahai Rasulullah, mintakanlah pertolongan (dari Allah) untuk kami? Berdo’alah (wahai Rasulullah) kepada Allah untuk kami?”

Maka Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam [13]) berkata : “Bahwa dulu seseorang dari kalangan umat sebelum kalian, ada yang digalikan lubang untuknya kemudian ia dimasukkan ke lubang tersebut. Ada juga yang didatangkan padanya gergaji, kemudian gergaji tersebut diletakkan di atas kepalanya lalu ia digergaji sehingga badannya terbelah jadi dua, akan tetapi perlakuan itu tidaklah menyebabkan mereka berpaling dari agamanya. Ada juga yang disisir dengan sisir besi, sehingga berpisahlah tulang dan dagingnya, akan tetapi perlakuan itu pun tidaklah menyebabkan mereka berpaling dari agamanya. Demi Allah, Allah akan menyempurnakan urusan ini (Islam), hingga (akan ada) seorang pengendara yang berjalan menempuh perjalanan dari Shan’a ke Hadramaut, dia tidak takut kecuali hanya kepada Allah atau (dia hanya khawatir terhadap) srigala (yang akan menerkam) kambingnya. Akan tetapi kalian tergesa-gesa. [14])

Maka kesabaran merupakan salah satu ibadah yang besar. Kita sampaikan kepada saudara-saudara kita yang lemah di Palestina dan di semua tempat bimbingan untuk berpegang kepada al-haq (kebenaran). Kita harus tahu bahwa kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti, lebih wajib untuk diterangkan, terkhusus dalam kondisi seperti ini. …………

Barangsiapa yang mengira dengan berbagai emosi dan tindakan yang ada bahwa dirinya akan bisa menang maka dia telah salah. Aku tegaskan : dia telah salah.

Karena agama Islam ini, barangsiapa yang ingin membelanya maka ia harus tahu bagaimana cara dan metode Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dalam menolong agama Allah tersebut, sehingga Allah pun menolong beliau. Allah Jalla fi ‘Ulahu berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ (7) [محمد/7]

Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukan kalian. [Muhammad : 7]

Al-Imam Al-’Allamah Asy-Syinqithi rahimahullah berkata dalam kitab Adhwa`il Bayan tentang tafsir ayat di atas :

ذكر الله جل وعلا في هذه الآية الكريمة، أن المؤمنين، إن نصروا ربه نصرهم على أعدائهم، وثبت أقدامهم، أي عصمهم من الفرار والهزيمة .

وقد أوضح هذا المعنى في آيات كثيرة، في بعضها صفات الذين وعدهم بهذا النصر كقوله تعالى { وَلَيَنصُرَنَّ الله مَن يَنصُرُهُ إِنَّ الله لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ } [ الحج : 40 ] ثم بين صفات الموعودين بهذا النصر في قوله تعالى بعده { الذين إِنْ مَّكَّنَّاهُمْ فِي الأرض أَقَامُواْ الصلاة وَآتَوُاْ الزكاة وَأَمَرُواْ بالمعروف وَنَهَوْاْ عَنِ المنكر وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الأمور } [ الحج : 41 ] وكقوله تعالى : { وَكَانَ حَقّاً عَلَيْنَا نصرالمؤمنين } [ الروم : 47 ] ، وقوله تعالى : { إِنَّا لَنَنصُرُ رُسُلَنَا والذين آمَنُواْ فِي الحياة الدنيا } [ غافر : 51 ] وقوله تعالى : { وَلَقَدْ سَبَقَتْ كَلِمَتُنَا لِعِبَادِنَا المرسلين إِنَّهُمْ لَهُمُ المنصورون وَإِنَّ جُندَنَا لَهُمُ الغالبون } [ الصافات : 171 - 173 ] إلى غير ذلك من الآيات . وقوله تعالى في بيان صفات من وعدهم بالنصر في الآيات المذكورة : { الذين إِنْ مَّكَّنَّاهُمْ فِي الأرض أَقَامُواْ الصلاة وَآتَوُاْ الزكاة وَأَمَرُواْ بالمعروف } [ الحج : 41 ] الآية . يدل على أن الذين لا يقيمون الصلاة ولا يؤتون الزكاة ولا يأمرون بالمعروف ولا ينهون عن المنكر ، ليس لهم وعد من الله بالنصر ألبتة .

فمثلهم كمثل الأجير الذي لم يعمل لمستأجره شيئاً ثم جاءه يطلب منه الأجرة .

فالذين يرتكبون جميع المعاصي ممن يتسمون باسم المسلمين ثم يقولون : إن الله سينصرنا مغرورون لأنهم ليسوا من حزب الله الموعدين بنصره كما لا يخفى .

ومعنى نصر المؤمنين لله، نصرهم لدينه ولكتابه، وسعيهم وجهادهم، في أن تكون كلمته هي العليا، وأن تقام حدوده في أرضه ، وتتمثل أوامره وتجتنب نواهيه، ويحكم في عباده بما أنزل على رسوله r.

“Allah Jalla wa ‘Ala menyebutkan dalam ayat yang mulia ini, bahwa kaum mukminin apabila mereka menolong (agama) Rabbnya, niscaya Allah menolong mereka atas musuh-musunya dan Allah kokohkan kedudukan mereka, yakni Allah jaga mereka dari terpukul mundur dan kekalahan.

Allah telah menjelaskan makna ini dalam banyak ayat-Nya. Pada sebagiannya Allah menjelaskan tentang sifat orang-orang yang Allah janjikan kepada mereka dengan kemenangan tersebut, seperti firman Allah Ta’ala :

{ وَلَيَنصُرَنَّ الله مَن يَنصُرُهُ إِنَّ الله لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ } [ الحج : 40 ]

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” [Al-Hajj : 40]

Kemudian Allah menjelaskan sifat-sifat orang-orang yang mendapat janji dengan kemenangan tersebut pada ayat berikutnya :

{ الذين إِنْ مَّكَّنَّاهُمْ فِي الأرض أَقَامُواْ الصلاة وَآتَوُاْ الزكاة وَأَمَرُواْ بالمعروف وَنَهَوْاْ عَنِ المنكر وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الأمور } [ الحج : 41 ]

(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. [Al-Hajj : 41]

Juga seperti firman Allah Ta’ala :

{ وَكَانَ حَقّاً عَلَيْنَا نصرالمؤمنين } [ الروم : 47 ]

dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman. [Ar-Rum : 47]

juga firman Allah Ta’ala :

{ إِنَّا لَنَنصُرُ رُسُلَنَا والذين آمَنُواْ فِي الحياة الدنيا } [ غافر : 51 ]

Sesungguhnya Kami benar-benar menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia [Ghafir : 51]

{ وَلَقَدْ سَبَقَتْ كَلِمَتُنَا لِعِبَادِنَا المرسلين إِنَّهُمْ لَهُمُ المنصورون وَإِنَّ جُندَنَا لَهُمُ الغالبون } [ الصافات : 171 - 173 ]

Dan Sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang. [Ash-Shaffat : 171-173]

Dan ayat-ayat lainnya.

Firman Allah Ta’ala tentang penjelasan sifat-sifat orang yang Allah janjikan kepada mereka kemenangan dalam ayat-ayat di atas, :

{ الذين إِنْ مَّكَّنَّاهُمْ فِي الأرض أَقَامُواْ الصلاة وَآتَوُاْ الزكاة وَأَمَرُواْ بالمعروف } [ الحج : 41 ] الآية

(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf [Al-Hajj : 41]

Menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak mau mendirikan shalat, tidak membayar zakat, tidak memerintahkan kepada yang ma’ruf, dan tidak mencegah kemungkaran, maka tidak ada untuk mereka janji kemenangan dari Allah sama sekali.

Permisalan mereka adalah seperti seorang pekerja yang tidak mau bekerja untuk orang yang memperkerjakannya sedikitpun, namun tiba-tiba ia datang kepada orang yang memperkerjakannya tersebut untuk minta upah/bayaran.

Maka orang-orang yang berbuat segenap kemaksiatan dari kalangan orang-orang yang menamakan diri sebagai muslimin, kemudian mereka mengatakan ‘bahwa Allah akan menolong kami’, maka mereka adalah orang-orang yang tertipu, karena mereka bukanlah hizbullah (golongannya Allah) yang mendapat janji kemenangan dari-Nya.

Makna pertolongan kaum mukminin terhadap Allah adalah : pembelaan mereka terhadap agama dan kitab-Nya, serta usaha dan jihad mereka dalam rangka menjadikan kalimat Allah itulah yang tinggi, tegaknya hukum-hukum Allah di muka bumi, terealisasinya segala perintah-Nya dan dijauhi segala larangan-Nya, serta diterapkan hukum terhadap hamba-hamba-Nya dengan hukum yang telah diturunkan kepada Rasul-Nya Shallahu ‘alaihi wa Sallam.

- sekian penjelasan Al-Imam Asy-Syinqithi rahimahullah -

Banyak dari umat ini yang berani tampil dan berbicara tanpa ilmu berdasarkan dengan semata-mata semangat dan perasaan dengan mengira bahwa semangat semata bermanfaat, emosi bermanfaat, namun mereka tidak menimbang berbagai ucapan tersebut dengan timbangan syari’at yang suci. Mereka itu seperti orang-orang rendahan …………………………

Berbagai bentuk demonstrasi yang terjadi, yang bukan merupakan bagian dari agama Allah sedikitpun, itu merupakan perbuatan yang sia-sia saja, …. Yang sangat jauh dari akhlaq hamba-hamba Allah yang mencari pertolongan dari sisi Allah. Mereka (pada demonstran tersebut) adalah orang-orang yang tertipu dan menentang syari’at. Tidak satu hari pun mereka membela al-haq (kebenaran). Sungguh demi Allah, mereka tidak akan menang dan tidak akan mampu mengalahkan musuh-musuhnya, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Maka kita harus mengetahui batas-batas syari’at dalam menyikapi peristiwa-peristiwa besar seperti ini. Dulu pada masa Khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab, apabila terjadi nazilah (peristiwa-peristiwa besar) menimpa para shahabat maka Khalifah ‘Umar mengumpulkan para shahabat veteran perang Badr untuk bermusyawarah menentukan jawaban, sikap dan penyelesaian.

Adapun pada masa kini maka masing-masing orang berani berbicara bukan atas dasar ilmu namun di atas kekacauan. …. dalam sebagian besar peristiwa dan kejadian, aku tidak mengatakan semuanya, namun aku katakan sebagian besar besar peristiwa dan kejadian.

Adapun perasaan, sungguh kasihan dia kalau tidak dibimbing dengan bimbingan syari’at. Sebagian manusia menyerukan jihad, bahwa jihad dan jihad .. dan banyak lagi berbagai seruan dan ajakan. Di antara seruan dan ajakan tersebut -sebagaimana telah aku katakan- adalah demonstrasi yang itu sama sekali tidak ada dalam syari’at Islam, bahkan engkau lihat wanita-wanita pun ikut keluar bersama kaum pria dalam kondisi mereka membuka auratnya pada sebagian negeri mirip telanjang, meneriak-neriakkan perang dan mengharap pertolongan dan kemenangan. Apa tindakan ini? Tindakan yang menentang syari’at? Apa tindakan yang menentang agama Allah ini? Kemudian mereka mengharap datangnya pertolongan dan kemenangan. Mana pengamalan kita terhadap (syari’at) sebagaimana dijelaskan oleh Asy-Syinqithi di atas. Apa kita adalah orang-orang yang pantas mendapat janji Allah berupa datangnya pertolongan? Padahal kita belum membela Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan kita belum membela agama Allah??! Kita belum menerapkan syari’at pada diri-diri kita masing-masing, dan kita belum memimpin diri kita, keluarga kita, dan semua yang dibawah tanggung jawab kita, dengan bimbingan Islam dan Sunnah. Bahkan sebagian mereka apabila datang kepada mereka ketentuan Islam dan Sunnah, mereka malah melemparkannya ke belakang punggung mereka.

Sungguh demi Allah, kalau seandainya umat ini mau merealisasikan segala yang diwajibkan oleh Allah atas mereka, niscaya mereka akan melihat pertolongan turun kepada mereka. Simak penjelasan Al-Imam Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in ketika beliau menjelaskan kesempurnaan dan kelengkapan syari’at :

وَهَذَا الأَصْلُ مِنْ أَهَمِّ الأُصُولِ وَأَنْفَعِهَا ، وَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى حَرْفٍ وَاحِدٍ؛ وَهُوَ عُمُومُ رِسَالَتِهِ r، بِالنِّسْبَةِ إلَى كُلِّ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ الْعِبَادُ فِي مَعَارِفِهِمْ وَعُلُومِهِمْ وَأَعْمَالِهِمْ ، وَأَنَّهُ لَمْ يُحْوِجْ أُمَّتَهُ إلَى أَحَدٍ بَعْدَهُ ، وَإِنَّمَا حَاجَتُهُمْ إلَى مَنْ يُبَلِّغُهُمْ عَنْهُ مَا جَاءَ بِهِ.

فَلِرِسَالَتِهِ عُمُومَانِ مَحْفُوظَانِ لا يَتَطَرَّقُ إلَيْهِمَا تَخْصِيصٌ :

عُمُومٌ بِالنِّسْبَةِ إلَى الْمُرْسَلِ إلَيْهِمْ.

وَعُمُومٌ بِالنِّسْبَةِ إلَى كُلِّ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ مَنْ بُعِثَ إلَيْهِ فِي أُصُولِ الدِّينِ وَفُرُوعِهِ.

فَرِسَالَتُهُ كَافِيَةٌ شَافِيَةٌ عَامَّةٌ، لا تُحْوِجُ إلَى سِوَاهَا، وَلا يَتِمُّ الْإِيمَانُ بِهِ إلاَّ بِإِثْبَاتِ عُمُومِ رِسَالَتِهِ فِي هَذَا وَهَذَا.

فَلا يَخْرُجُ أَحَدٌ مِنْ الْمُكَلَّفِينَ عَنْ رِسَالَتِهِ، وَلا يَخْرُجُ نَوْعٌ مِنْ أَنْوَاعِ الْحَقِّ الَّذِي تَحْتَاجُ إلَيْهِ الأُمَّةُ فِي عُلُومِهَا وَأَعْمَالِهَا عَمَّا جَاءَ بِهِ.

وَقَدْ تُوُفِّيَ رَسُولُ الله r وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي السَّمَاءِ إلاَّ ذَكَرَ للأُمَّةِ مِنْهُ عِلْمًا.

وَعَلَّمَهُمْ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى آدَابَ التَّخَلِّي وَآدَابَ الْجِمَاعِ وَالنَّوْمِ وَالْقِيَامِ وَالْقُعُودِ، وَالأَكْلِ وَالشُّرْبِ، وَالرُّكُوبِ وَالنُّزُولِ، وَالسَّفَرِ وَالإِقَامَةِ، وَالصَّمْتِ وَالْكَلاَمِ، وَالْعُزْلَةِ وَالْخُلْطَةِ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرِ، وَالصِّحَّةِ وَالْمَرَضِ، وَجَمِيعِ أَحْكَامِ الْحَيَاةِ وَالْمَوْتِ، وَوَصَفَ لَهُمْ الْعَرْشَ وَالْكُرْسِيَّ وَالْمَلائِكَةَ وَالْجِنَّ، وَالنَّارَ وَالْجَنَّةَ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَا فِيهِ حَتَّى كَأَنَّهُ رَأْيُ عَيْن.

وَعَرَّفَهُمْ مَعْبُودَهُمْ وَإِلَهَهُمْ أَتَمَّ تَعْرِيفٍ حَتَّى كَأَنَّهُمْ يَرَوْنَهُ وَيُشَاهِدُونَهُ بِأَوْصَافِ كَمَالِهِ وَنُعُوتِ جَلالِهِ.

وَعَرَّفَهُمْ الأَنْبِيَاءَ وَأُمَمَهُمْ وَمَا جَرَى لَهُمْ ، وَمَا جَرَى عَلَيْهِمْ مَعَهُمْ حَتَّى كَأَنَّهُمْ كَانُوا بَيْنَهُمْ.

وَعَرَّفَهُمْ مِنْ طُرُقِ الْخَيْرِ وَالشَّرِّ دَقِيقَهَا وَجَلِيلَهَا مَا لَمْ يُعَرِّفْهُ نَبِيٌّ لأُمَّتِهِ قَبْلَهُ.

وَعَرَّفَهُمْ r مِنْ أَحْوَالِ الْمَوْتِ وَمَا يَكُونُ بَعْدَهُ فِي الْبَرْزَخِ وَمَا يَحْصُلُ فِيهِ مِنْ النَّعِيمِ وَالْعَذَابِ لِلرُّوحِ وَالْبَدَنِ مَا لَمْ يُعَرِّفْ بِهِ نَبِيٌّ غَيْرُهُ.

وَكَذَلِكَ عَرَّفَهُمْ r مِنْ أَدِلَّةِ التَّوْحِيدِ وَالنُّبُوَّةِ وَالْمَعَادِ وَالرَّدِّ عَلَى جَمِيعِ فِرَقِ أَهْلِ الْكُفْرِ وَالضَّلاَلِ مَا لَيْسَ لِمَنْ عَرَفَهُ حَاجَةٌ مِنْ بَعْدِهِ ، اللَّهُمَّ إلاَّ إلَى مَنْ يُبَلِّغُهُ إيَّاهُ وَيُبَيِّنُهُ وَيُوَضِّحُ مِنْهُ مَا خَفِيَ عَلَيْهِ.

وَكَذَلِكَ عَرَّفَهُمْ r مِنْ مَكَايِدِ الْحُرُوبِ وَلِقَاءِ الْعَدُوِّ وَطُرُقِ النَّصْرِ وَالظَّفْرِ مَا لَوْ عَلِمُوهُ وَعَقَلُوهُ وَرَعَوْهُ حَقَّ رِعَايَتِهِ لَمْ يَقُمْ لَهُمْ عَدُوٌّ أَبَدًا.

وَكَذَلِكَ عَرَّفَهُمْ r مِنْ مَكَايِدِ إبْلِيسَ وَطُرُقِهِ الَّتِي يَأْتِيهِمْ مِنْهَا وَمَا يَتَحَرَّزُونَ بِهِ مِنْ كَيْدِهِ وَمَكْرِهِ وَمَا يَدْفَعُونَ بِهِ شَرَّهُ مَا لاَ مَزِيدَ عَلَيْهِ.

وَكَذَلِكَ عَرَّفَهُمْ r مِنْ أَحْوَالِ نُفُوسِهِمْ وَأَوْصَافِهَا وَدَسَائِسِهَا وَكَمَائِنِهَا مَا لاَ حَاجَةَ لَهُمْ مَعَهُ إلَى سِوَاهُ، وَكَذَلِكَ عَرَّفَهُمْ r مِنْ أُمُورِ مَعَايِشِهِمْ مَا لَوْ عَلِمُوهُ وَعَمِلُوهُ لَاسْتَقَامَتْ لَهُمْ دُنْيَاهُمْ أَعْظَمَ اسْتِقَامَةٍ .

وَبِالْجُمْلَةِ فَجَاءَهُمْ بِخَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ بِرُمَّتِهِ، وَلَمْ يُحْوِجْهُمْ اللهُ إلَى أَحَدٍ سِوَاهُ، فَكَيْفَ يُظَنُّ أَنَّ شَرِيعَتَهُ الْكَامِلَةَ الَّتِي مَا طَرَقَ الْعَالَمَ شَرِيعَةٌ أَكْمَل مِنْهَا نَاقِصَةٌ تَحْتَاجُ إلَى سِيَاسَةٍ خَارِجَةٍ عَنْهَا تُكَمِّلُهَا ، أَوْ إلَى قِيَاسٍ أَوْ حَقِيقَةٍ أَوْ مَعْقُولٍ خَارِجٍ عَنْهَا ؟

وَمَنْ ظَنَّ ذَلِكَ فَهُوَ كَمَنْ ظَنَّ أَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إلَى رَسُولٍ آخَرَ بَعْدَهُ، وَسَبَبُ هَذَا كُلِّهِ خَفَاءُ مَا جَاءَ بِهِ عَلَى مَنْ ظَنَّ ذَلِكَ وَقِلَّةُ نَصِيبِهِ مِنْ الْفَهْمِ الَّذِي وَفَّقَ اللهُ لَهُ أَصْحَابَ نَبِيِّهِ الَّذِينَ اكْتَفَوْا بِمَا جَاءَ بِهِ، وَاسْتَغْنَوْا بِهِ عَمَّا مَا سِوَاهُ، وَفَتَحُوا بِهِ الْقُلُوبَ وَالْبِلاَدَ، وَقَالُوا : هَذَا عَهْدُ نَبِيِّنَا إلَيْنَا، وَهُوَ عَهْدُنَا إلَيْكُمْ.

“Prinsip ini merupakan di antara prinsip terpenting dan paling bermanfaat, prinsip tersebut ditegakkan di atas satu hal, yaitu umum risalah Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam terkait dengan segala yang dibutuhkan oleh hamba dalam hal pengetahuan, ilmu, dan amalan mereka, dan beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menjadikan umatnya masih butuh kepada seorang pun sepeninggal beliau, namun kebutuhan mereka adalah kepada Nabi yang telah menyampaikan risalah kepada mereka.

Maka pada risalah (agama) beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam terdapat dua keumuman yang sama sekali tidak bisa dijadikan khusus :

- Umum dalam kaitannya dengan Nabi yang diutus kepada mereka.

- Umum dalam kaitannya dengan segala yang dibutuhkan oleh umat yang menjadi objek risalah, dalam hal prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya.

Jadi risalah (agama) beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam lengkap, mencukupi, dan umum, yang umat sudah tidak perlu lagi kepada selain agama tersebut. Tidak akan sempurna keimanan (seorang hamba) kecuali dengan meyakini tentang keumuman agama beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam dalam kaitannya dengan yang ini (pertama) maupun yang itu (kedua).

Tidak ada seorang mukallaf pun yang (boleh) keluar dari risalah (agama) beliau, juga tidak boleh keluar dari salah satu cabang dari berbagai cabang kebenaran yang sangat dibutuhkan oleh umat dalam berbagai ilmu dan amalan mereka.

Ketika Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah wafat, maka tidak ada satu burung pun yang mengepakkan sayap di langit, kecuali beliau telah menyebutkan untuk umat beliau ilmu tentangnya.

Bahkan beliau telah mengajari umatnya segala sesuatu, sampai permasalahan adab buang hajat, berjima’, tidur, berdiri, duduk, makan dan minum, berkendaraan dan berjalan, bepergian dan mukim, sikap diam dan berbicara, ber‘uzlah (menyendiri) dan bergaul (dengan manusia), ketika kaya dan ketika miskin, ketika sehat dan ketika sakit, serta seluruh hukum-hukum terkait dengan kehidupan dan kematian. Beliau juga menjelaskan sifat-sifat al-’arsy, al-kursi, para malaikat, para jin, neraka dan al-jannah serta Hari Kiamat sampai seakan-akan hari tersebut terlihat dengan mata.

Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengajari umatnya tentang ma’bud dan ilah (Dzat yang diibadahi) dengan penjelasan yang sempurna sehingga seakan-akan mereka melihat dan menyaksikan-Nya dengan segala sifat kesempurnaan dan kemuliaan-Nya.

Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengajari umatnya tentang para nabi dan umat mereka serta berbagai peristiwa yang dialami oleh para nabi, dan berbagai musibah yang menimpa para nabi tersebut bersama umatnya, sampai-sampai seakan-akan mereka berada di tengah-tengah para nabi dan umatnya tersebut.

Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengajari umatnya tentang berbagai kondisi kematian dan peristiwa-peristiwa yang terjadi setelahnya di alam barzakh, serta yang akan didapati padanya berupa kenikmatan atau adzab terhadap ruh dan badan, dengan penjelasan yang belum pernah disampaikan oleh seorang nabi pun selain beliau.

Demikian juga, Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam mengajari umatnya berbagai dalil dan bukti tentang (kebenaran) tauhid, kenabian, dan Hari Pembalasan, serta bantahan terhadap seluruh kelompok orang-orang kafir dan sesat, dengan penjelasan yang jika seorang telah memahaminya maka dia tidak butuh lagi pada seorang pun, kecuali kepada orang yang bisa menyampaikan kepadanya, menjelaskan, dan menjabarkan kepadanya hal-hal yang tersembunyi atasnya.

Demikian juga, Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengajarkan kepada umatnya berbagai tipu daya peperangan dan berhadapan dengan lawan, serta cara-cara mendapatkan pertolongan dan kemenangan, dengan penjelasan yang kalau seandainya umat ini mengetahui, memahami, dan memperhatikannya dengan penuh keseriusan, maka mereka tidak akan ditindas oleh musuh selamanya.

Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengajarkan kepada umatnya berbagai makar Iblis dan cara-caranya yang menimpa mereka dari cara-cara tersebut, sekaligus (mengajarkan kepada umatnya) segala hal yang bisa menjaga dari berbagai tipu daya dan makar Iblis dan segalah yang bisa menolak kejelekannya, dengan penjelasan yang (cukup) tidak perlu ditambah lagi.

Demikian juga Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengajarkan kepada umatnya kondisi jiwa-jiwa mereka, sifat-sifatnya … dengan penjelasan yang umat sudah tidak perlu lagi pada selainnya. Demikian juga Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengajarkan kepada mereka tentang permasalahan penghidupan mereka, yang kalau mereka mengetahui dan mengamalkannya niscaya tegaklah dunia mereka dengan sangat kokoh.

Kesimpulannya, Nabi telah datang kepada umat (dengan membawa) kebaikan dunia dan akhirat dengan sempurna. Allah menjadikan mereka tidak butuh lagi kepada selain (agama beliau). Maka syari’at-Nya yang sempurna yang tidak pernah ada di alam ini syari’at yang lebih sempurna darinya, bagaimana bisa disangka bahwa syari’at-Nya tersebut kurang, masih perlu ada siasat di luar syari’at tersebut agar bisa menyempurnakannya, atau masih butuh pada qiyas atau hakekat atau pemahaman di luar syari’at tersebut?

Barangsiapa yang mengira demikian, maka dia seperti orang yang mengira bahwa umat manusia masih membutuhkan adanya rasul lain sepeninggal Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Sebab ini semua adalah kurangnya ilmu pada orang yang menyangka dengan persangkaan tersebut dan sedikit pemahamannya. Allah telah memberikan taufiq pemahaman tersebut kepada para pengikut Nabi-Nya, orang-orang yang merasa cukup dengan agama yang dibawa oleh Nabi tersebut serta tidak butuh pada selainnya. Sehingga dengannya mereka bisa membuka hati-hati manusia dan membuka berbagai negeri. Mereka mengatakan : ini merupakan wasiat nabi kami terhadap kami, maka ini pulalah wasiat kami terhadap kalian.”

- sekian Ibnul Qayyim rahimahullah wa ghafara lahu -

C Adapun jihad, maka kita tidak mengingkari jihad. Namun jihad tersebut harus merupakan jihad yang syar’i. Semua pihak mengklaim jihad, namun apakah itu sudah merupakan jihad yang syar’i?? Inilah pertanyaan yang hakiki.

كل يدعي وصلا بليلى … وليلى لا تقر لهم بذاكا

Semua pihak mengaku punya hubungan dengan Laila

Padahal Laila tidak mengakui yang demikian itu

Jihad Syar’i memiliki hukum-hukum, ketentuan-ketentuan, serta rukun-rukun. Mayoritas syarat-syarat tersebut -kalau aku tidak mengatakan semua- pada masa ini belum terpenuhi.

(Di antara syaratnya ) : Al-Qudratu ‘alal Muwajahah (Kemampuan untuk menghadapi musuh). Apakah kita sudah mempersiapkan persiapan iman yang syari’i? yang bisa tegak untuk kita Al-Jihad … Hari ini tidak ada kemampuan pada sebagian besar umat dan sebagian besar negeri (muslimin) untuk melawan kekuatan musuh. Allah tidak memberikan beban kepada seseorang kecuali sebatas apa yang ada padanya.

Oleh karena itu para ‘ulama telah berfatwa dan menjelaskan, di antaranya Al-Imam Ibnul Qayyim dan lainnya dalam masalah (bolehnya) perdamaian dengan kaum Yahudi. Mereka (para ‘ulama tersebut) berdalil dengan perdamaian (yang dilakukan oleh) Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dengan Yahudi Madinah, yang berarti menunjukkan bolehnya berdamai dengan Yahudi. Dalam masalah ada perinciannya, apakah perdamaian yang bersifat abadi atau perdamaian yang sementara/dibatasi waktunya. Ada beberapa pendapat di kalangan para ‘ulama. Namun yang dipilih oleh sejumlah besar ‘ulama adalah perdamaian dengan Yahudi hukumnya boleh, baik terbatas waktunya maupun selamanya. Inilah perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama. Maka kita mempertimbangkan antara bolehnya berdamai dengan kemampuan. Oleh karena itu Samahatul Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menfatwakan bolehnya melakukan perdamaian dengan Yahudi, dalam rangka menjaga darah kaum muslimin yang telah tertumpahkan pada waktu itu.

Demikian juga persiapan jihad yang berupa fisik maupun maknawi.

Kewajiban adanya kemampuan tersebut harus ditimbang dengan qaidah syar’iyyah yang telah ditetapkan oleh para ‘ulama, yaitu qaidah global utama yang telah ditetapkan oleh para ‘ulama, serta telah dijelaskan oleh mereka dengan penjelasan yang gamblang dan terang. Di antaranya oleh Syaikhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan murid utamanya Ibnul Qayyim serta Al-Hafizh Al-’Allamah Asy-Syathibi rahimahullah dan lainnya. Qaidah tersebut adalah :

لا واجب مع عجز ولا محرم مع ضرورة

Tidak ada kewajiban dalam kondisi lemah (tidak mampu), dan tidak ada keharaman dalam kondisi darurat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Al-Harrani rahimahullah berkata [15]) :

ومن الأصول الكلية أن المعجوز عنه فى الشرع ساقط الوجوب، وأن المضطر إليه بلا معصية غير محظور، فلم يوجب الله ما يعجز عنه العبد، ولم يحرم ما يضطر إليه العبد

“Di antara prinsip-prinsip yang menyeluruh adalah bahwa seorang yang lemah (dari suatu kewajiban) maka dia gugur kewajibannya, dan bahwa seorang yang terdesak/terpaksa/darurat namun bukan dalam kemaksiatan, maka dia tidak dilarang. Allah tidak mewajibkan atas hamba sesuatu yang dia tidak mampu, dan tidak mengharamkan sesuatu yang seorang hamba terpaksa/terdesak/darurat (melakukannya).”

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam karya besarnya I’lamul Muwaqqi’in [16]) :

ومن قواعد الشرع الكلية أنه لا واجب مع عجز ولا حرام مع ضرورة

“Termasuk kaidah syari’at yang bersifat menyeluruh adalah bahwa tidak ada kewajiban dalam kondisi lemah (tidak mampu) dan tidak ada keharaman dalam kondisi darurat.”

Beliau berkata juga dalam permasalahan lain pada tempat lain dari kitab I’lamul Muwaqqi’in[17]) :

ولا واجب في الشريعة مع عجز ولا حرام مع ضرورة

“Tidak ada kewajiban dalam kondisi lemah (tidak mampu) dan tidak ada keharaman dalam kondisi darurat.”

Qaidah : “ Tidak ada kewajiban dalam kondisi lemah (tidak mampu)”, dipetik dari qaidah ini bahwa seluruh kewajiban, syarat, dan rukun terkait dengan kondisi sanggup dan mampu melaksanakannya. Adapun jika dalam kondisi lemah dan tidak ada kemampuan, maka (kewajiban, syarat, dan rukun tersebut) gugur dari seorang mukallaf, baik dengan cara digantikan dengan yang lain atau gugur secara mutlak. Karena syarat pembebanan (suatu kewajiban) adalah adanya kemampuan, yaitu kemampuan sang mukallaf untuk melaksanakannya. Maka apabila sang mukallaf tidak memiliki kemampuan, maka tidak sah pembebanan kewajiban atasnya secara syar’i.

Kaidah ini memiliki asal yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syari’at. Di antaranya :

Firman Allah Ta’ala :

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ [التغابن/16]

Bertaqwalah kalian semaksimal kemampuan kalian [At-Taghabun : 16]

Juga firman Allah :

وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا [الطلاق/7]

Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. [Ath-Thalaq : 7]

Allah memerintahkan untuk memberi nafkah sebatas kesanggupan dan kemampuannya.

Allah Jalla wa ‘Azz juga berfirman :

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا [الأنعام/152]

Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. [Al-An’am : 152]

Al-Imam Ibnul Qayyim berkata [18]) :

فأمر بالعدل المقدور وعفا عن غير المقدور

“Allah memerintahkan melakukan keadilan yang sanggup untuk dilakukan, dan Allah memaafkan keadilan yang tidak sanggup dilakukan.”

Di antaranya juga sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim :

« دَعُونِى مَا تَرَكْتُكُمْ، إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَىْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ »

“Biarkanlah (jangan bertanya) permasalahan-permasalahan yang aku biarkan [19]) Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah karena pertanyaan dan penyelisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka. Maka apabila aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah, dan apabila aku memerintahkan sesuatu maka laksanakanlah perintah tersebut semaksimal kemampuan kalian.” [20])

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah ketika menjelaskan hadits yang agung ini, yaitu yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu, beliau menyebutkan bahwa para ‘ulama mengambil kesimpulan dari hadits ini :

أنَّ النَّهيَّ أشدُّ من الأمر؛ لأنَّ النَّهيَّ لم يُرَخَّصْ في ارتكاب شيء منه، والأمر قُيِّدَ بحسب الاستطاعة، ورُوي هذا عن الإمام أحمد .

“Larangan itu lebih kuat daripada perintah. Karena larang tidak diberi keringanan untuk seseorang melakukannya sedikitpun. Adapun perintah maka diberi batasan sesuai dengan tingkat kemampuan. Kesimpulan ini diriwayatkan pula dari Al-Imam Ahmad.” [21])

Kemudian beliau menjelaskan juga sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam : ” dan apabila aku memerintahkan sesuatu maka laksanakanlah perintah tersebut semaksimal kemampuan kalian.”

دليلٌ على أنَّ من عَجَزَ عن فعل المأمور به كلِّه، وقدرَ على بعضه، فإنَّه يأتي بما أمكنه منه.

“Hadits ini merupakan dalil bahwa barang siapa yang lemah/tidak sanggup melakukan semua perintah Rabb-nya, sementara dia hanya sanggup/mampu melaksanakan sebagiannya saja, maka dia melaksanakan (kewajiban) yang memungkinkan/mampu dia laksanakan saja.” [22])

Kemudian beliau menyebutkan beberapa misal.

Demikianlah Allah telah menjelaskan kepada kita, dan menjadikannya syari’at yang suci dan bersih. Demikian juga para ‘ulama telah menjelaskan dan memaparkan kaidah umum ini dengan perinciaan yang sangat detail. Di antaranya Al-Hafizh Asy-Syathibi rahimahullah -sebagaiamana telah aku katakan- dalam karya besarnya Al-Muwafaqat. Maka kita harus memahami makna dan permasalahan ini.

Bahkan meskipun dalam jihad difa’ (defensif), tetap berupaya membela sesuai dengan batas kemampuan, selama memungkinkan untuk melakukannya. Oleh karena itu Al-’Allamah Al-Fauzan mengatakan bahwa apa yang dilakukan sekarang hanyalah tindakan nekad tanpa perhitungan. Mereka beraksi dan berhasil membunuh satu orang namun akibatnya terbunuhlah ribuan. Hendaklah sekarang kalian berpikir, berapa sudah jumlah yang terbunuh dalam peperangan yang penuh kezhaliman dan kecerobohan ini, yang sudah mencapai di atas 1.300 orang lebih, selain sekitar 6.000 korban luka, dan lain-lain. Sementara jumlah yang terbunuh dari pihak Yahudi umat yang dimurkai itu -sebatas yang diberitakan oleh mereka dan yang diberitakan oleh pihak lainnya - hanya sekitar 13 orang saja, 10 orang dari kalangan militer dan 3 orang selain militer. Kalau pun jumlah yang terbunuh 20 atau 30 orang. Maka lihatlah hasil ini, apakah seimbang antara ini dan itu?

Oleh karena itu, kesimpulannya adalah wajib menimbang segala sesuatu dengan timbangan syari’at bukan dengan timbangan perasaan.

Semoga sampai di sini sudah mencukupi. Kita memohon kepada Allah agar memberikan barakah pada ilmu yang kita ucapkan dan kita dengar kemudian memberikan taufiq pada kita kepada segala yang Dia cintai dan Dia ridhai.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

[1] HR. Al-Bukhari no. 5158, 6018, 6019, 6136, 6138, 6475. Muslim no. 47, 48.

[2] HR. Ahmad (III/198), Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shamt no. 9, Al-Khara`ithi dalam Al-Makarim no. 442; dari shahabat Anas bin Malik. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah no. 2841.

[3] HR. Al-Bukhari no. 6477, Muslim 2988.

[4] HR. Al-Bukhari no. 6478.

[5] Ar-Risalah At-Tabukiyyah hal. 34

[6] Hal. 34-35.

[7] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 4789. Disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam - syarh hadits no. 15.

[8] Disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam - syarh hadits no. 15.

[9] Diriwayatkan dari shahabat Anas bin Malik Radhiyallah ‘anhu secara marfu’. Namun sanadnya dha’if (lemah), sebagaimana didha’ifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 2424. yang benar bahwa perkataan itu merupakan ucapan Luqman Al-Hakim yang dinukilkan oleh shahabat Anas bin Malik.

[10] Disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam.

[11] HR. At-Tirmidzi no. 2032. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi (no. 2032).

[12] Dengan lafazh ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 578. adapula dengan lafazh :

« وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِى الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ »

“Adapun (ketika) sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a, maka lebih terjamin terkabulnya (do’a) untuk kalian.” HR. Muslim 479, Abu Dawud 876, Ahmad I/219, Ibnu Khuzaimah 529, 578. dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallah ‘anhu.

[13] Dalam riwayat Al-Bukhari lainnya dengan lafazh disebutkan bahwa : Maka beliau langsung duduk dengan wajah memerah seraya bersabda : … .

[14] HR. Al-Bukhari (no. 3612, 3852, 6941).

[15] Majmu’ul Fatawa XX/559

[16] I’lamul Muwaqqi’in II/41

[17] I’lamul Muwaqqi’in III/20

[18] I’lamul Muwaqqi’in I/321

[19] Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari : “Selama aku biarkan (hukum permasalahan tersebut) dengan tidak ada perintah atau pun larangan sedikitpun.”

[20] HR. Al-Bukhari 7288, Muslim 1337. ini adalah lafazh Al-Bukhari.

[21] Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam syarh hadits no.9

[22] Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam syarh hadits no.9

sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=314